Selasa, 12 Juli 2016

Ramadan dan Upaya Memperbaiki Diri

Ramadan dan Upaya Memperbaiki Diri

Bulan Ramadan datang kembali. Bulan yang penuh berkah, rahmat, ampunan, dan kasih sayang, tentu saja. Bulan yang selalu dinantikan seluruh umat Muslim di berbagai belahan dunia. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, persoalan klasik senantiasa hadir dan melulu diperbincangkan. Sebut saja soal sweaping, kenaikan harga sembako dan daging, dan hal-hal lain yang tentu jamak diketahui (dan biasa terjadi). Memang, hal demikian tidak dapat langsung dipersalahkan, atau justru dibenarkan di sisi lain. Sebagaimana dalam hadis qudsi, bahwa puasa adalah ibadah untuk-Ku. Dengan demikian, puasa merupakan bentuk ibadah personal-vertikal langsung kepada Allah. Jadi, apapun yang berhubungan dengan pahala puasa dan bagaimana seorang muslim menjalaninya, maka hanya ia sendiri yang tahu, bukan orang lain.
Terlepas dari itu, ada-ada saja persoalan-persoalan yang (kebetulan) datang guna menguji sejauh mana kita mampu menghadapi dengan sabar dan ikhlas. Apakah kita mampu menaklukannya atau justru terpuruk di dalamnya. Demikian pula yang terjadi pada Ramadan tahun ini, seolah menegaskan bahwa kita tidak bisa menjalani ibadah dengan tamam. Mahalnya harga daging sapi yang tembus hingga angka Rp 130.000, upaya pemerintah merasionalisasi satu juta pegawai negeri (yang tahun ini bahkan mendapat tambahan gaji ke-14), peristiwa 1965 yang tak kunjung menemui titik temu, pelunasan Lapindo yang tak kunjung tuntas bahkan lewat satu dasawarsa (dan berganti presiden), kasus korupsi yang seolah tak pernah berpuasa dan perkara yang diperjualbelikan di meja Mahkamah Agung, hingga penggusuran di ibukota yang berbau pelanggaran HAM dengan dalih penertiban, dan lain sebagainya.
Tentu peristiwa-peristiwa tersebut (secara tidak langsung) memengaruhi kualitas ibadah puasa kita. Bayangkan, berita-berita tersebut silih-berganti dan menjadi santapan berbuka dan sahur. Kita bahkan tak menemukan hidangan yang mampu membuat kita berpikir dan berprasangka positif. Semua dijejalkan begitu saja dan mengalir bagai aliran sungai yang keruh, seolah tiada yang peduli atau turut memberi solusi, atau paling tidak menjernihkan hiruk-pikuk tersebut.
Beruntung, kita tidak disuguhi perbedaan awal puasa yang dipelopori oleh dua ormas Islam terbesar di negeri ini (meski masih saja ada beberapa ormas di beberapa daerah yang mendahului bahkan membelakangi). Penetapan kalender Hijriah secara internasional perlu ditetapkan sesegera mungkin supaya umat Islam tidak melulu dibingungkan soal awal atau akhir bulan penanggalan kamariah (bahkan was-was). Upaya yang telah digodok beberapa tahun lalu ini perlu sesegera mungkin diselesaikan agar jangan berlarut-larut dan menjadi perpecahan umat. Meski tentu banyak hal yang mesti dipertimbangkan, baik mengenai metode, dasar dalil, maupun hal-hal lain bersifat teknis.
Lebih jauh lagi, hendaknya Ramadan ini kita jadikan momentum instropeksi diri. Mengekang diri dari perbuatan buruk dan dilarang agama serta memperbanyak beribadah dan berbuat baik bagi sesama dan negara. Inilah saatnya nilai-nilai kemanusiaan kita ditempa sedemikian rupa dan daya tahan kita diuji. Tentu, dalam perjalanannya terdapat kekhilafan yang tak bisa dihindari, namun bukan berarti tidak dapat dihindari. Keyakinan dan kepercayaan dirilah yang mampu membuat kita mampu melaluinya dengan tawakal, sebab jalan ikhtiar masih terbuka bagi mereka yang mau dan menginginkan kemenangan di pengujung Ramadan. Bukankah kemenangan tidak mudah diraih begitu saja?
Dan puasa sebagai media melatih diri akan semakin memperkuat keimanan dan kerja keras kita bila dilakukan dengan sabar dan ikhlas. Bila kita mampu menghadapi berbagai persoalan di bulan ini tentu seusai Ramadan kita mampu menghadapi persoalan-persoalan yang tentu lebih berat dan menemukan jalan keluar yang baik, baik bagi diri sendiri maupun bagi sesama. Bukankah telah dikatakan bahwa dengan berpuasa niscaya kita akan menjadi pribadi-pribadi yang bertakwa? [*]

2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar