Senin, 21 Juni 2010

UKURAN DALAM KRITIK SASTRA

UKURAN DALAM KRITIK SASTRA

PEMBAHASAN

A. Ukuran Formal
Ukuran formal merupakan ukuran yang menganggap karya sastra sebagai sesuatu (dunia) yang otonom dengan aturan atau norma-norma tersendiri, sehingga selah-olah memiliki konvensi yang tidak bisa diubah. Misalnya, bentuk soneta yang terdiri atas empat belas baris dengan variasi bait dan rima akhirnya.

B. Ukuran Moral
Ukuran moral memandang karya sastra sebagai bagian aktivitas kemanusiaan dan nilai-nilai tertentu dalam kehidupan manusia, serta menjelaskan dengan referesi yang bertolak dari keseluruhan kode moral atau nilai-nilai tertentu yang mengandung unsur baik dan buruk.

C. Kriteria Estetis
Kriteria estetis merupakan ukuran karya sastra yang mencoba memperlihatkan nilai-nilai keindahan dalam karya sastra, sebab karya sastra adalah perwujudan pengalaman jiwa seseorang yang menarik dan mengandung unsur keindahan. Thomas Aquino, yang dikutip oleh Slametmuljana (1956:18, dalam Pradopo, 1997:41), menyatakan bahwa terdapat tiga syarat keindahan:
1. Keutuhan atau kesempurnaan, karena segala kekurangan akan menyebabkan keburukan;
2. Keselarasan atau keseimbangan bentuk (harmonious);
3. Sinar kejelasan, oleh karena itu, apapun yang berpancar sinar kejelasan, boleh disebut indah.
Berbeda pula yang dikatakan Tjernisevski, bahwa keindahan adalah kehidupan. Sedangkan Benedetto Croce berpendapat bahwa keindahan adalah ekspresi yang berhasil baik. Jadi, dapat disimpulkan bahwa yang namanya indah atau keindahan adalah segala sesuatu yang baik, sedap dipandang dan dinikmati, serta berkenan di dalam hati.

D. Kriteria Epistemis
Kriteria epistemis merupakan ukuran karya sastra yang memperlihatkan nilai-nilai kebenaran dan kegunaan praktis suatu karya sastra. Nilai kebenaran yang dimaksud bukan kebenaran faktual dan bukan berdasarkan sistem logika konvensional, melainkan kebenaran imajinatif yang memiliki sistem logika tersendiri. Artinya, setiap karya sastra menunjukkan sistem permainan, urutan logis berdasarkan peristiwa yang berkesinambungan dalam karya tersebut, dan kebenarannya hanya refleksi kehidupan. Jadi, logika dalam karya sastra hanya dapat dipahami bertolak dari imajinasi dan maksud pengarang, bukan berdasarkan kebenaran faktual/realitas.
Sedangkan kegunaan praktis karya sastra dirumuskan oleh Horace (dikutip oleh Rene Wellek) sebagai dulce et utile (menyenangkan dan berguna); menyenangkan dalam arti dapat menghibur dan bukan sesuatu yang menjemukan; dan berguna dalam arti tidak memboroskan waktu, tetapi menambah wawasan, mencerdaskan, dan banyak memberi pengetahuan kepada pembaca, serta sesuatu yang patut mendapat perhatian.

E. Kriteria Normatif
Kriteria normatif merupakan ukuran karya sastra yang memperlihatkan norma-norma yang khas dalam karya sastra. Rene Wellek mengemukakan analisis Roman Ingarden, seorang filsuf Polandia, di dalam bukunya Das Literarische Kuntswerk (1931) dengan metode phenomenologi Edmond Husserl, menganalisis lapis-lapis norma itu ada lima:
1. Lapis suara (sound stratum) dasar timbulnya;
2. Lapis arti (units of meaning), rangkaian fonem, kata, frase, dan kalimat dalam suara-suara itu dapat menimbulkan arti atau makna tersendiri;
3. Lapis objek yang dikemukanan, “dunia pengarang”, pelaku, tempat/setting, dan peristiwa atau cerita yang dilukiskan;
4. Lapis “dunia” yang dilihat dari suatu titik pandang tertentu yang tidak perlu dinyatakan, tetapi terkandung di dalamnya (implied). Misalnya, suara derit pintu yang dibuka oleh seseorang, bila perlahan dan lembut akan timbul sugesti bahwa yang membuka adalah perempuan lemah-lembut dan penuh kehati-hatian, begitu juga sebaliknya;
5. Lapis/stratum metafisika, lapis ini memberikan kesempatan kepada pembaca untuk berkontemplasi mengenai hal yang sublim/mulia, tragis, mengerikan, dan suci.

F. Kriteria Keasian Ekspresi
Kriteria ini menuntut karya sastra harus asli, orisinil, dan sesuatu yang baru dan bahkan aneh-aneh (making it new, making it strange). Ciri keaslian ekspresi juga ditunjukkan adanya kerumitan, ketegangan, dan keluasan (intricacy, tension, width), serta kesatuan atau kekomplekan (unity or complexity) makna yang dikandung karya sastra.
Seperti komentar Maman S. Mahayana dalam antologi puisi Nurel Javissyarqi, Kitab Para Malaikat (2007): “Berbeda dengan Sutardji Calzoum Bachri yang menghancurkan konvensi dan menawarkan estetika mantra atau Afrizal Malna yang mengusung keterpecahan, fragmen-fragmen, dan semangat menawarkan inkoherensi, Nurel Javissyarqi lebih menyerupai bentuk ekspresi atas hamparan semangat yang menggelegak. Ia seperti telah sekian lama menyimpan sejumlah kegelisahan dan gagal menjumpai katup pembukanya. Maka, yang muncul kemudian adalah penghancuran struktur kalimat, pemorakporandaan imaji-imaji, dan penciptaan bentuk-bentuk metafora yang sempoyongan, berantakan dalam gerakan dewa mabuk.”

G. Sistem Norma Tunggal, Benar, Baik, dan Indah
Dick Hartoko dalam bukunya Manusia dan Seni (1984, dalam Suroso, dkk, 2009:74), mengusulkan satu penilaian karya sastra, yakni sistem norma tunggal, benar, baik dan indah. Suatu karya sastra harus mengandung nilai-nilai tersebut. Tunggal adalah kriteria yang menunjukkan segala sesuatu itu bersifat utuh, kesatuan, bulat, dan terpadu. Benar adalah sistem norma yang menunjukkan segala sesuatu dapat dilogika dan mencerminkan kehidupan manusia. Baik adalah sistem norma yang menunjukkan segala sesuatu dapat mendorong untuk dilaksanakan atau memberi pedoman arah kebijaksanaan tertentu. Dan indah adalah sistem norma yag memberi gambaran keharmonisan, keselarasan, dan pesona yang mampu dirasakan, dinikmati, dan dihayati sebagai sesuatu yang bermakna dan berharga.

H. Paham/Aliran Penilaian Karya Sastra
Rene Wellek (1976:41-43, dalam Pradopo, 1997:188-189), mengemukakan tiga paham penilaian yang didasarkan pada pikiran/ide yang berlainan, yakni:
1. Penilaian Relativisme
Penilaian relativisme merupakan penilaian yang didasarkan pada tempat dan waktu terbitnya karya sastra. Penilaian karya sastra itu relatif, tidak sama di semua tempat dan waktu. Tiap tempat dan waktu memiliki kaidah, tradisi, dan konvensi sendiri-sendiri.
Misalnya, roman Azab dan Sengsara karya Merari Siregar. Balai Pustaka mengatakan adalah roman terbaik yang pernah ada pada waktu itu (1921). Maka, pada saat ini pun mau tidak mau harus mengatakan bahwa roman itu adalah roman terbaik walaupun dengan dalih atau kajian apapun.
2. Penilaian Absolutisme
Penilaian absolutisme merupakan penilaian karya sastra didasarkan pada paham-paham, politik, moral, atau ukura-ukuran tertentu. Penilaian ini tidak didasarkan pada hakikat sastra sendiri. Penilaiannya bersifat statik dan dogmatik.
Misalnya, di Indonesia, Lekra berpaham bahwa politik adalah panglima yang didasarkan pada paham Marxis.

3. Penilaian Perspektivisme
Penilaian perspektivisme merupakan penilaian karya sastra dari berbagai perspektif, tempat, dan waktu; menilai karya sastra dari berbagai sudut pandang, yaitu menunjukkan nilai karya sastra pada waktu terbitnya dan pada masa-masa berikutnya. Karya sastra ini bersifat abadi dan historis. Abadi dalam arti memelihara suatu ciri, dan historis dalam arti karya sastra itu telah melampaui suatu proses yang dapat dirunut/dicari jejaknya. Penilaian perspektif mengakui adanya suatu karya sastra yang dapat dibanding-bandingkan sepanjang masa, berkembang, berubah, penuh kemungkinan dalam penilaiannya. Jadi, penilaian perspektivisme menerangkan nilai karrya sastra pada waktu terbitnya dan nilainya pada waktu-waktu berikutnya sampai sekarang dari berbagai sudut pandang.

I. Dalil J.Elema
Dalam menilai karya sastra haruslah dilihat hubungan antara sastrawan dengan karya sastranya, mengingat bahwa karya sastra penjelmaan pengalaman jiwa sastrawan ke dalam suatu karya dengan medium bahasa.
Jadi, dalam menilai karya sastra haruslah dilihat berhasil atau tidaknya sastrawan menjelmakan pengalaman jiwanya ke dalam kata. Seperti kata Benedetto Croce, bahwa “keindahan adalah ekspresi yang berhasil baik. Itulah sifat seni.”
Dalam bukunya Poetica, J.Elema melihat hubungan antara pengalaman jiwa diungkapkan ke dalam kata. Dengan dasar itu, J.Elema mengemukakan dalil-dalil seni sastra dalam bukunya itu halaman 230, dikutip dan diterjemahkan Slametmuljana (1956:25, dalam Pradopo, 1997:56-57) sebagai berikut:
1. Puisi (karya sastra) mempunyai nilai seni bila pengalaman jiwa yang menjadi dasarnya dapat dijelmakan ke dalam kata. Tambahan lagi, nilai seni itu bertambah tinggi bila pengalaman itu makin lengkap;
2. Pengalaman jiwa itu makin tinggi nilainya bila pengalaman itu makin banyak meliputi keutuhan jiwa;
3. Pengalaman jiwa itu makin tinggi nilainya bila pengalaman itu makin kuat;
4. Pengalaman itu makin tinggi nilainya bila isi pengalaman itu makin banyak (makin luas dan makin jelas perinciannya).
Sebuah karya sastra yang baik dan lengkap setidaknya memiliki lima tingkatan lapis makna/lapis jiwa (niveau). Nilai-nilai tersebut dimulai dari tataran yang paling rendah sampai pada tataran yang tinggi. Adanya kelima tingkatan struktur lapis makna/lapis jiwa merupakan indikator sejauh mana kualitas karya sastra yang ditelaah. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan J.Elema, bahwa karya sastra yang bernilai apabila memiliki kelima tingkatan nilai itu secara lengkap (Subagio Sastrowardojo, dalam Fananie, 2000:78-79).
Kelima tingkatan tersebut adalah:
1. Niveau anorganik, yakni niveau yang berkaitan dengan tingkatan nilai dan hal-hal yang langsung bisa diindera karena visualitas dan ketampakannya. Dalam telaah puisi, lapisan nilai anorganik dapat dilihat melalui bentuk tipografi, susunan kata dalam baris, susunan baris dalam bait, rumus sajak, dan lain-lain. Dalam prosa, dapat dilihat dari aspek pengkalimatan, penyusunan paragraf, dan perwujudannya;
2. Niveau vegetatif, yakni niveau yang mengungkapkan adanya kehidupan yang alami dan naluriah. Struktur kalimat yang menunjukkan nilai tersebut misalnya: himbauan sang bayu, gelora samudra, kemarau berdebu, ketam merangkak di paya-paya, kucing menembus malam, dan sebagainya;
3. Niveau animal, yakni niveau yang melukiskan nilai-nilai yang sudah dicemari nafsu-nafsu rendah, keserakahan, kebinalan, kemesuman, kekejian, sampai hal-hal yang tercela. Misalnya, dapat dilihat dari adegan-adegan saling mencaci, nafsu menjarah, menggencet si lemah, perbuatan tidak senonoh, memasabodokan Tuhan, menghina, dan sebagainya;
4. Niveau humanis, yakni niveau yang merupakan lapis kehidupan yang sudah mengendapkan kesadaran kemanusiaan sebagai makhluk eksistensialis di muka bumi. Di sini dilukiskan juga masalah kesepian, meditasi, kerinduan, bahagia, cinta, cita, kasih sayang, dan keterbatasan. Begitu pula ungkapan hal-hal yang berkaitan dengan moral kemanusiaan serta hal-hal yang bersifat manusiawi. Kisah-kisah cinta yang menggetarkan seperti Romeo dan Juliet, ataupun sajak-sajak Chairil Anwar, W.S Rendra, Goenawan Muhammad, adalah karya sastra yang kaya akan niveau humanis;
5. Niveau metafisika/transendental/religius/filosofis, merupakan niveau perwujudan kesadaran manusia akan adanya “nilai-nilai yang lebih tinggi” daripada hal-hal yang tampak di permukaan dan keseharian. Adanya kesadaran akan dosa, rasa religiusitas, keimanan akan Tuhan dan kehidupan akhirat, pentingnya berbuat baik dan berbakti kepadaNya, merupakan perwujudan dari niveau ini.

J. Tolok Ukur Versi van Luxemburg
Jan van Luxemburg, dkk, (1989:47-48, dalam Suroso, dkk, 2009:77-78), menyatakan bahwa suatu penilaian tidak lepas dari interpretasi. Pilihan tentang metode interpretasi dan tolok ukur bergantung pada pendirian tentang sastra yang dianut. Adapun tolok ukur yang digunakan pada umumnya adalah:
1. Hampir selalu digunakan tolok ukur mengenai struktur. Suatu karya sastra dinilai berdasarkan rancang-bangunnya yang merupakan satu kesatuan;
2. Tolok ukur yang berdekatan ialah estetika. Karya sastra didasarkan pada penilaian kenikmatan keindahan melalui rancang-bangunnya;
3. Kualitas karya sastra dinilai berdasarkan wawasan yang diberikannya tentang pribadi, perasaan, atau niatan pengarang (ekspresivitas);
4. Karya sastra dinilai menurut gambarannya tentang kenyataan, wawasan tentang manusia, budaya, dan zaman (realisme);
5. Suatu karya adalah baik apabila karya itu memberi wawasan baru, memperkaya pengetahuan, dan dapat memberi sumbangsih bagi perubahan yang diperlukan masyarakat (kognitif);
6. Kualitas karya sastra dinilai menurut kadar kekuatannya untuk memungkinkan pembaca mengidentifikasi dengan apa yang dikisahkan sebagai pendirian (nilai rasa);
7. Suatu karya dapat dinilai dengan tolok ukur moral, yaitu sejauh mana karya itu mengemukakan sikap moral (yang dianggap benar);
8. Suatu karya dapat dinilai dengan tolok ukur tradisi dan pembaharuan. Dapat dihargai sebagai karya pembaharu atau justru kelanjutan yang sesuai dengan tradisi yang pernah ada dari suatu ragam atau kurun waktu tertentu. Dan aktivitas pembaca sangat dipentingkan dalam tolok ukur ini.
Apapun tolok ukurnya, Luxemburg menyatakan bahwa penilaian harus didasari oleh argumen yang jelas sehingga dapat diterima. Suatu argumen/alasan harus dibuktikan dengan menyertakan kutipan teks-teks yang mendukung penilaian dan menjelaskan teks-teks yang dikutip itu dengan berbagai pengalaman, wawasan, dan kemampuan sang krritikus.

*****

DAFTAR PUSTAKA

Fananie, Zainuddin. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press
Luxemburg, Jan van, dkk. 1989. Pengantar Ilmu Sastra (diindonesiakan oleh Dick Hartoko). Jakarta: Gramedia
Pradopo, Rachmat Djoko. 1997. Prinsip-prinsip Kritik Sastra (cetakan kedua). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Suroso, dkk. 2009. Kritik Sastra: Teori, Metodologi, dan Aplikasi. Yogyakarta: Elmatera Publishing

Tidak ada komentar:

Posting Komentar