Jumat, 16 Juli 2010

RELIKUI KEBO KICAK MOSAIK JOMBANG

Relikui Kebo Kicak Mosaik Jombang

Biarlah rahasia tetap menjadi rahasia, sebab ada sesuatu yang musti tidak ditemukan bahkan diungkapkan (Lara Crouft).

Siapa menduga bahwa Jombang (dan daerah-daerah yang dinaunginya) adalah bekas pijakan yang dijejakkan Kebo Kicak ketika mengejar Surontanu (teman seperguruan di bawah asuhan Kiai Sumoyono, yang akhirnya menjadi musuhnya). Bekas pijakan tersebut diberi nama sesuai dengan latar-peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan daerah atau tempat tersebut.
(Dan mulai dari sini; bertabur rahasia, mitos, dan mistik. Tapi kini menantangnya. Mungkin “walat” akan menghantui tiap langkah hidupku. Semoga Tuhan melindungiku, karena Dia selalu bersama hambaNya yang beriman)
Joko Tulus adalah putra Wandan Manguri, cicit Celeng Kecék (masih memiliki hubungan darah dengan kerajaan Mojopahit). Sebelum menjadi Kebo Kicak, Joko Tulus adalah sosok yang patuh pada ajaran Hindu saat itu. Dia terkenal sebagai pribadi yang berbudi luhur dan berilmu tinggi. Namun, sombong mulai melingkupi batinnya. Tiba-tiba ia ingin dielu-elukan, bahkan disembah oleh penduduk sekitar. Joko Tulus mengamuk manakala tidak ada yang menuruti kemauannya. Ia kemudian mengobrak-abrik petilasan (kuburan, makam) buyutnya, Celeng Kecék. Ia copot batu nisan sang buyut sembari misuh-misuh, berbicara kotor dan tidak karuan.
Melihat hal itu, sontak arwah sang buyut muncul dan marah kepada Joko Tulus.
“Oalah, engkau mengamuk tanpa alasan di atas kuburan buyutmu sendiri, bahkan mengobrak-abrik kuburanku. Dasar cicit tak tahu diuntung! Apakah gerangan maumu? Ilmumu sudah tinggi tapi engkau malah berbuat tidak sopan di sini. Aku tidak rela dengan kelakuanmu ini. Jadilah engkau seperti kerbau yang tak punya adab!”
Begitulah soth (kutukan) sang buyut kepada Joko Tulus sehingga Joko Tulus berubah menjadi Kebo Kicak dikarenakan perbuatannya seperti kerbau yang mencak-mencak di tanah orang tanpa kenal sopan santun dan aturan.
Joko Tulus yang sudah berubah menjadi Kebo Kicak, menyadari dan menyesali kelakuannya. Penyesalan yang pastinya datang diakhir perbuatan dan membuat hidup tak nyaman karena menanggung perbuatan yang dilakukan sendiri. Selepas kejadian itu, Kebo Kicak bertualang dan meguru kepada Kiai Sumoyono. Kyai Sumoyono menerima Kebo Kicak seperti halnya murid-muridnya yang lain walaupun Kebo Kicak adalah manusia berkepala kerbau. Kiai Sumoyono juga mengetahui bahwa sang murid memiliki kelebihan yang tak dimiliki murid-muridnya yang lain, yakni kedalaman ilmu dan tidak bisa mati dengan mudah.
Di padepokan tersebut, Kebo Kicak bergaul dengan Surontanu, seorang pemuda yang juga memiliki kedigdayaan ilmu seperti Kebo Kicak. Surontanu berasal dari daerah Timur. Kedua sosok ini saling melengkapi selayaknya saudara yang saling membutuhkan satu sama lain. Persaudaraan yang berbuah permusuhan di kemudian hari dan akan mengguratkan tinta emas sejarah lahirnya Jombang (dan desa-desa yang bernaung di dalamnya).
(Semangsa yang lalu kau berucap. Kita ‘kan saling tatap. Menyebut purnama tanpa ratap. Tangis; menghapus rayap. Di antara jiwa juga malam pengap. Demi perasaan sehati juga seatap. Kubahasakan matari berikut cah’ya. Dengan kelopak pagi memantul pendarnya. Juga peraupanmu penuh binar. Kehidupan; setambat nafas hadirkan nyawa. Di suatu pokok reranting menjelma tubuhmu. Inikah diriku inikah dirimu. Bersatu pada satu nuansa. Bareng nama!)
Hingga pada suatu hari, Kebo Kicak merasa sahabatnya itu, Surontanu, tidak lagi menghormatinya, bahkan menganggapnya lebih rendah. Jiwa liarnya muncul kembali dan lebih murka daripada waktu mengobrak-abrik makam buyutnya. Mengetahui kemarahan Kebo Kicak, Surontanu lari tanpa sepengetahuan sang guru, Kiyai Sumoyono. Begitu pula pengejaran Kebo Kicak terhadap Surontanu yang sudah diliputi amarah yang tak terbahasakan, tanpa pamit. Ya, seringkali manusia lupa tentang keberadaannya di muka bumi, bahkan menganggap diri mereka Tuhan. Sedikit anugrah yang dilimpahkan Sang Mahakuasa telah membentuk renik-renik kedengkian dan kesombongan yang melebihi semesta. Sungguh, ceakalah manusia seperti itu.
Buah kedengkian dan kesombongan itu pun merajai hati Kebo Kicak. Ia pun mengejar Surontanu sampai di daerah yang banyak ditumbuhi buah salak. Daerah tersebut memang tempat yang tepat untuk bersembunyi. Masih sunyi dan belum terjamah manusia. Juga, baik buat bersemedi, menata hati untuk langkah selanutnya. Di kemudian hari, ing reja-rejane jaman, daerah tersebut dinamai desa Kalak. Di situ bertemu orang tandak tayub. Saking saktinya Kebo Kicak, Surontanu disabdo Kebo Kicak menjadi Sardulo (manusia berkepala macan). Kini, keduanya adalah manusia setengah hewan.
(Seringkali nasib berpihak pada orang yang mujur. Nasib tak bisa ditebak, karena nasib adalah kesunyian masing-masing [Chairil Anwar]. Nasib selalu menertawakan orang-orang apes. Maka berbahagialah dengan nasib!)
Setelah disabdo menjadi manusia berkepala macan, Surontanu lari ke sebuah desa dan berlindung di kediaman mbok Melik. Mbok Melik adalah sesepuh desa itu. Mbok Melik merasa iba dengan Surontanu, manusia setengah hewan, sehingga mau menyembunyikan Surontanu di rumahnya. Namun, Kebo Kicak mencium tempat persembunyian Surontanu. Kebo Kicak kalap. Ia membabat habis daerah tersebut. Rumah, pekarangan, manusia, tak luput dari amukan dan kebiadaban Kebo Kicak. Bumi pun seolah hendak digulung, bahkan langit ditantangnya. Nafsu dan amarah yang tak tertahankan ditumpahkan kepada makhluk yang tak bersalah. Sungguh naif. Dan, daerah itu pun sampai sekarang dikenal dengan nama desa Melik.
Atas saran Mbok Melik, Surontanu lari lagi dan bersembunyi ke tempat eyang, yang akhirnya tempat tersebut menjadi Tebuireng. Eyang yang dimaksud adalah Mbok Rondo Belang. Disitu, ia banyak membantu sang eyang. Karena daerah tersebut tumbuh subur tanaman tebu ireng (tebu berjenis hitam), maka daerah tersebut dinamakan Tebuireng.
Surontanu hijrah ke Barat, ke daerah Kejambon sekarang. Di daerah itulah pertarungan yang sebenarnya. Setelah lelah berlari dan bersembunyi, Surontanu akhirnya muncul dan menghadapi Kebo Kicak. Pertarungan sengit yang tak bisa dielakkan itu berlangsung selama beberapa hari. Surontanu mengalami kekalahan ketika bertarung di daerah yang sekarang disebut desa Bantengan. Memang karena pertarungan mereka yang liar dan ganas layaknya banteng atau karena Surontanu menggunakan senjata banteng tracak kencono mas (menurut versi lain selain versi Hindu ini), sehingga daerah itu dinamakan desa Bantengan. Entahlah! Makanya, desa Kejambon dan Bantengan sampai sekarang selalu cekcok, kisruh, tidak pernah akur dan selalu bertengkar antar pemudanya, dikarenakan mitos leluhurnya di masa lalu, yakni Kebo Kicak dan Surontanu yang bertarung di kedua daerah tersebut.
“Jika ada orang yang membangun rumah tanpa atap dhaduk (anyaman daun kering tebu), maka akan kena walat (musibah, bencana)!”
Itu adalah sebuah mitos, bahkan ada yang menganggapnya kutukan Kebo Kicak. Tiap kali warga desa Karang Kejambon membangun rumah, pasti beratapkan dhaduk. Atau kalau tidak begitu, pasti bagian belakang rumah mereka yang beratapkan dhaduk.
(Alang-alang melalang. Melang-melang. Hilang. Malang disekap alang-alang. Hilang di antara hutan alang. Di balik pilang-palang. Juga surai-surai menghampar dikelilingi semilir senja, mengatup ruang bias bagai biru cahaya mega, lelah menghamba pantang menyerah. Aku tak bisa menolak. Dia tak bisa mengelak. Berpacu dalam sandiwara. Lengkaplah sudah!)
Kalah dari kebo kicak, Surontanu meminta pertolongan kepada Kebo Bang Surowijoyo, yang merupakan pendekar tangguh di daerah Watugaluh (Megaluh). Kebo Bang Surowijoyo bertarung dengan Kebo Kicak. Kebo Kicak menggila. Watu Gilang yang menjadi penyumbat dam tangkis daerah tersebut, dijebol. Akibatnya, air sungai meluap dan membanjiri daerah di sekitarnya. Dan, sampai sekarang, daerah itu selalu dilanda banjir ketika musim penghujan tiba. Mungkin karena penyumbatnya dijebol Kebo Kicak di masa lalu, atau karena daerah tersebut lebih rendah ketimbang bantarang sungainya. Tak ada yang tahu pasti. Yang pasti, perbuatan Kebo Kicak telah merusak tatanan kehidupan masyarakat setempat yang butuh ketenangan hidup.
Pengejaran Kebo Kicak tak berhenti sampai di Watugaluh. Ia terus mengejar Surontanu yang lari ke daerah Bongkot (Peterongan). Surontanu yang tak tahu tujuan, bertemu Kiai Bongkot. Ia banyak diwejangi sang kiai dan mendapat banyak ilmu disana. Hingga, Kiai Bongkot memberi tahu Surontanu bahwa Kebo Kicak tidak akan bisa mati kecuali dibunuh oleh seseorang yang memiliki banteng tracak kencono. Banteng tracak kencono adalah semacam keris yang bentuknya sangat mini, bahkan terlihat seperti bukan benda pusaka. Dan yang memiliki benda tersebut adalah Joko Tamping, pendekar dari daerah Timur (sekarang disebut daerah Tamping Mojo).
Pengelanaan pun kembali dilakukan Surontanu. Sebab pengalaman adalah guru terbaik. Ia mencari sosok Joko Tamping sampai ke daerah Timur. Ia sowan kepada Joko Tamping dan menyampaikan maksud tujuannya. Ia ingin sang pendekar membunuh Kebo Kicak (manusia berkepala kerbau) yang selalu membuat onar di berbagai daerah. Joko Tamping menyanggupi dan mau membantu tanpa imbalan apapun.
Dan, pertarungan pun terjadi kembali. Kali ini lebih sengit ketimbang di daerah-daerah sebelumnya. Pertarungan antara Kebo Kicak dengan Joko Tamping yang akan menjadi akhir keonaran dan hidup Kebo Kicak. Karena merasa dipermainkan Surontanu karena selalu bersembunyi dari kejarannya dan meminta pertolongan kepada para pendekar atau sesepuh setempat, Kebo Kicak kian murka. Pertarungan sengit tak dapat dihindarkan. Keduanya memiliki jurus andalan masing-masing serta kekuatan mereka seimbang. Merasa duel ini menjenuhkan, Kebo Kicak sesumbar memancing Joko Tamping agar mengluarkan senjata rahasianya. Memang, sedari tadi Joko Tamping enggan mengeluarkan senjata pamungkasnya. Tapi akhirnya, dikeluarkannya juga senjata pusaka tersebut, yakni banteng tracak kencono. Mengetahui hal tersebut, Kebo Kicak makin sombong karena akan mengetahui kelemahan musuh sehingga berbalik membunuhnya. Joko Tamping tak tinggal diam. Tanpa pikir panjang, ia menghunuskan pusaka tersebut tepat di kepala Kebo Kicak. Tewaslah sang kebo.
Setelah kejadian tersebut, ada yang mengatakan bahwa jasad Kebo Kicak moksa (hilang tak membekas terbang ke langit); ada yang mengatakan bahwa jasad Kebo Kicak dibuang ke bantaran sungai Brantas oleh Joko Tamping agar tidak membekas di tanah Jombang dan mitosnya hanyut bersama alir sungai Brantas; ada pula yang mengatakan jasad Kebo Kicak disemayamkan di desa Karang Kejambon (sekarang Dapur Kejambon) dan setiap bulan Suro (bulan dalan kalender Jawa) diruwat agar desa tersebut damai, aman, tentram, dan sentosa.
Begitulah mitos, tidak bisa ditebak dan dirunut keberadaannya. Namun, apapun itu, Kebo Kicak telah memberi tracak (bekas jalan; jejak) bagi daerah-daerah yang sekarang menjadi bagian kota Jombang. Dan, sampai sekarang pun masih digali dan diungkap kebenarannya; dari manakah Jombang berasal? Apakah Jombang memiliki sejarah; riwayat?
Aku tak ingin jejakku ini menjadi perdebatan di kemudian hari. Aku hanya lewat, bukan menggurat. Sebab relikui hidup menjalani bagai cakrawala, menghisap semesta, menembus kosmos (Kebo Kicak).

*****

Lampiran:
Dan inilah para tokoh dalam perjalanan hidup Kebo Kicak sehingga nama-nama mereka diabadikan menjadi nama tempat atau daerah ketika Kebo Kicak melintas dan bertarung melawan Surontanu. Juga, diurutkan berdasarkan alur cerita Kebo Kicak hingga kematiannya, dan berdasarkan silsilah keluarga Kebo Kicak.
1. Bantang Boyo
2. Lirboyo (pak dhe/paman Joko Tulus/Kebo Kicak)
3. Kiai Bungkil
4. Wandan Manguri (ibu Joko Tulus/Kebo Kicak)
5. Joko Tulus (nama asli Kebo Kicak)
6. Celeng Kecék (buyut Joko Tulus/Kebo Kicak)
7. Buyut Pranggang
8. Prabu Browijoyo VII
9. Lembu Peténg
10. Surontanu
11. Kiai Sumoyono
12. Widuri
13. Melik
14. Sardulo
15. Kebo Bang Surowijoyo
16. Mbok Rondo Belang
17. Kiai Bongkot
18. Joko Tamping (pembunuh Kebo Kicak)

*****

Disarikan dari:
1) Nama : Pariyadi
Tempat, tanggal lahir : Jombang, --
Umur : 64 tahun
Agama : Hindu
Pekerjaan : seniman ludruk (tercatat sebagai anggota Palambang
[Paguyuban Ludruk Arek Jombang])
Alamat : Gudo Jombang

2) Nama : Mbah Nur
Tempat, tanggal lahir : Jombang, 20 Agustus 1944
Umur : 66 tahun
Agama : Hindu
Pekerjaan : guru spritual dan pemuka agama Hindu;
pengelola radio SBL (Suara Budi Luhur) FM
Alamat : Jalan Kandangan 24 Ngepeh, Rejoagung, Ngoro,
Jombang; telepon (0321) 6211380

*****

Senin, 21 Juni 2010

UKURAN DALAM KRITIK SASTRA

UKURAN DALAM KRITIK SASTRA

PEMBAHASAN

A. Ukuran Formal
Ukuran formal merupakan ukuran yang menganggap karya sastra sebagai sesuatu (dunia) yang otonom dengan aturan atau norma-norma tersendiri, sehingga selah-olah memiliki konvensi yang tidak bisa diubah. Misalnya, bentuk soneta yang terdiri atas empat belas baris dengan variasi bait dan rima akhirnya.

B. Ukuran Moral
Ukuran moral memandang karya sastra sebagai bagian aktivitas kemanusiaan dan nilai-nilai tertentu dalam kehidupan manusia, serta menjelaskan dengan referesi yang bertolak dari keseluruhan kode moral atau nilai-nilai tertentu yang mengandung unsur baik dan buruk.

C. Kriteria Estetis
Kriteria estetis merupakan ukuran karya sastra yang mencoba memperlihatkan nilai-nilai keindahan dalam karya sastra, sebab karya sastra adalah perwujudan pengalaman jiwa seseorang yang menarik dan mengandung unsur keindahan. Thomas Aquino, yang dikutip oleh Slametmuljana (1956:18, dalam Pradopo, 1997:41), menyatakan bahwa terdapat tiga syarat keindahan:
1. Keutuhan atau kesempurnaan, karena segala kekurangan akan menyebabkan keburukan;
2. Keselarasan atau keseimbangan bentuk (harmonious);
3. Sinar kejelasan, oleh karena itu, apapun yang berpancar sinar kejelasan, boleh disebut indah.
Berbeda pula yang dikatakan Tjernisevski, bahwa keindahan adalah kehidupan. Sedangkan Benedetto Croce berpendapat bahwa keindahan adalah ekspresi yang berhasil baik. Jadi, dapat disimpulkan bahwa yang namanya indah atau keindahan adalah segala sesuatu yang baik, sedap dipandang dan dinikmati, serta berkenan di dalam hati.

D. Kriteria Epistemis
Kriteria epistemis merupakan ukuran karya sastra yang memperlihatkan nilai-nilai kebenaran dan kegunaan praktis suatu karya sastra. Nilai kebenaran yang dimaksud bukan kebenaran faktual dan bukan berdasarkan sistem logika konvensional, melainkan kebenaran imajinatif yang memiliki sistem logika tersendiri. Artinya, setiap karya sastra menunjukkan sistem permainan, urutan logis berdasarkan peristiwa yang berkesinambungan dalam karya tersebut, dan kebenarannya hanya refleksi kehidupan. Jadi, logika dalam karya sastra hanya dapat dipahami bertolak dari imajinasi dan maksud pengarang, bukan berdasarkan kebenaran faktual/realitas.
Sedangkan kegunaan praktis karya sastra dirumuskan oleh Horace (dikutip oleh Rene Wellek) sebagai dulce et utile (menyenangkan dan berguna); menyenangkan dalam arti dapat menghibur dan bukan sesuatu yang menjemukan; dan berguna dalam arti tidak memboroskan waktu, tetapi menambah wawasan, mencerdaskan, dan banyak memberi pengetahuan kepada pembaca, serta sesuatu yang patut mendapat perhatian.

E. Kriteria Normatif
Kriteria normatif merupakan ukuran karya sastra yang memperlihatkan norma-norma yang khas dalam karya sastra. Rene Wellek mengemukakan analisis Roman Ingarden, seorang filsuf Polandia, di dalam bukunya Das Literarische Kuntswerk (1931) dengan metode phenomenologi Edmond Husserl, menganalisis lapis-lapis norma itu ada lima:
1. Lapis suara (sound stratum) dasar timbulnya;
2. Lapis arti (units of meaning), rangkaian fonem, kata, frase, dan kalimat dalam suara-suara itu dapat menimbulkan arti atau makna tersendiri;
3. Lapis objek yang dikemukanan, “dunia pengarang”, pelaku, tempat/setting, dan peristiwa atau cerita yang dilukiskan;
4. Lapis “dunia” yang dilihat dari suatu titik pandang tertentu yang tidak perlu dinyatakan, tetapi terkandung di dalamnya (implied). Misalnya, suara derit pintu yang dibuka oleh seseorang, bila perlahan dan lembut akan timbul sugesti bahwa yang membuka adalah perempuan lemah-lembut dan penuh kehati-hatian, begitu juga sebaliknya;
5. Lapis/stratum metafisika, lapis ini memberikan kesempatan kepada pembaca untuk berkontemplasi mengenai hal yang sublim/mulia, tragis, mengerikan, dan suci.

F. Kriteria Keasian Ekspresi
Kriteria ini menuntut karya sastra harus asli, orisinil, dan sesuatu yang baru dan bahkan aneh-aneh (making it new, making it strange). Ciri keaslian ekspresi juga ditunjukkan adanya kerumitan, ketegangan, dan keluasan (intricacy, tension, width), serta kesatuan atau kekomplekan (unity or complexity) makna yang dikandung karya sastra.
Seperti komentar Maman S. Mahayana dalam antologi puisi Nurel Javissyarqi, Kitab Para Malaikat (2007): “Berbeda dengan Sutardji Calzoum Bachri yang menghancurkan konvensi dan menawarkan estetika mantra atau Afrizal Malna yang mengusung keterpecahan, fragmen-fragmen, dan semangat menawarkan inkoherensi, Nurel Javissyarqi lebih menyerupai bentuk ekspresi atas hamparan semangat yang menggelegak. Ia seperti telah sekian lama menyimpan sejumlah kegelisahan dan gagal menjumpai katup pembukanya. Maka, yang muncul kemudian adalah penghancuran struktur kalimat, pemorakporandaan imaji-imaji, dan penciptaan bentuk-bentuk metafora yang sempoyongan, berantakan dalam gerakan dewa mabuk.”

G. Sistem Norma Tunggal, Benar, Baik, dan Indah
Dick Hartoko dalam bukunya Manusia dan Seni (1984, dalam Suroso, dkk, 2009:74), mengusulkan satu penilaian karya sastra, yakni sistem norma tunggal, benar, baik dan indah. Suatu karya sastra harus mengandung nilai-nilai tersebut. Tunggal adalah kriteria yang menunjukkan segala sesuatu itu bersifat utuh, kesatuan, bulat, dan terpadu. Benar adalah sistem norma yang menunjukkan segala sesuatu dapat dilogika dan mencerminkan kehidupan manusia. Baik adalah sistem norma yang menunjukkan segala sesuatu dapat mendorong untuk dilaksanakan atau memberi pedoman arah kebijaksanaan tertentu. Dan indah adalah sistem norma yag memberi gambaran keharmonisan, keselarasan, dan pesona yang mampu dirasakan, dinikmati, dan dihayati sebagai sesuatu yang bermakna dan berharga.

H. Paham/Aliran Penilaian Karya Sastra
Rene Wellek (1976:41-43, dalam Pradopo, 1997:188-189), mengemukakan tiga paham penilaian yang didasarkan pada pikiran/ide yang berlainan, yakni:
1. Penilaian Relativisme
Penilaian relativisme merupakan penilaian yang didasarkan pada tempat dan waktu terbitnya karya sastra. Penilaian karya sastra itu relatif, tidak sama di semua tempat dan waktu. Tiap tempat dan waktu memiliki kaidah, tradisi, dan konvensi sendiri-sendiri.
Misalnya, roman Azab dan Sengsara karya Merari Siregar. Balai Pustaka mengatakan adalah roman terbaik yang pernah ada pada waktu itu (1921). Maka, pada saat ini pun mau tidak mau harus mengatakan bahwa roman itu adalah roman terbaik walaupun dengan dalih atau kajian apapun.
2. Penilaian Absolutisme
Penilaian absolutisme merupakan penilaian karya sastra didasarkan pada paham-paham, politik, moral, atau ukura-ukuran tertentu. Penilaian ini tidak didasarkan pada hakikat sastra sendiri. Penilaiannya bersifat statik dan dogmatik.
Misalnya, di Indonesia, Lekra berpaham bahwa politik adalah panglima yang didasarkan pada paham Marxis.

3. Penilaian Perspektivisme
Penilaian perspektivisme merupakan penilaian karya sastra dari berbagai perspektif, tempat, dan waktu; menilai karya sastra dari berbagai sudut pandang, yaitu menunjukkan nilai karya sastra pada waktu terbitnya dan pada masa-masa berikutnya. Karya sastra ini bersifat abadi dan historis. Abadi dalam arti memelihara suatu ciri, dan historis dalam arti karya sastra itu telah melampaui suatu proses yang dapat dirunut/dicari jejaknya. Penilaian perspektif mengakui adanya suatu karya sastra yang dapat dibanding-bandingkan sepanjang masa, berkembang, berubah, penuh kemungkinan dalam penilaiannya. Jadi, penilaian perspektivisme menerangkan nilai karrya sastra pada waktu terbitnya dan nilainya pada waktu-waktu berikutnya sampai sekarang dari berbagai sudut pandang.

I. Dalil J.Elema
Dalam menilai karya sastra haruslah dilihat hubungan antara sastrawan dengan karya sastranya, mengingat bahwa karya sastra penjelmaan pengalaman jiwa sastrawan ke dalam suatu karya dengan medium bahasa.
Jadi, dalam menilai karya sastra haruslah dilihat berhasil atau tidaknya sastrawan menjelmakan pengalaman jiwanya ke dalam kata. Seperti kata Benedetto Croce, bahwa “keindahan adalah ekspresi yang berhasil baik. Itulah sifat seni.”
Dalam bukunya Poetica, J.Elema melihat hubungan antara pengalaman jiwa diungkapkan ke dalam kata. Dengan dasar itu, J.Elema mengemukakan dalil-dalil seni sastra dalam bukunya itu halaman 230, dikutip dan diterjemahkan Slametmuljana (1956:25, dalam Pradopo, 1997:56-57) sebagai berikut:
1. Puisi (karya sastra) mempunyai nilai seni bila pengalaman jiwa yang menjadi dasarnya dapat dijelmakan ke dalam kata. Tambahan lagi, nilai seni itu bertambah tinggi bila pengalaman itu makin lengkap;
2. Pengalaman jiwa itu makin tinggi nilainya bila pengalaman itu makin banyak meliputi keutuhan jiwa;
3. Pengalaman jiwa itu makin tinggi nilainya bila pengalaman itu makin kuat;
4. Pengalaman itu makin tinggi nilainya bila isi pengalaman itu makin banyak (makin luas dan makin jelas perinciannya).
Sebuah karya sastra yang baik dan lengkap setidaknya memiliki lima tingkatan lapis makna/lapis jiwa (niveau). Nilai-nilai tersebut dimulai dari tataran yang paling rendah sampai pada tataran yang tinggi. Adanya kelima tingkatan struktur lapis makna/lapis jiwa merupakan indikator sejauh mana kualitas karya sastra yang ditelaah. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan J.Elema, bahwa karya sastra yang bernilai apabila memiliki kelima tingkatan nilai itu secara lengkap (Subagio Sastrowardojo, dalam Fananie, 2000:78-79).
Kelima tingkatan tersebut adalah:
1. Niveau anorganik, yakni niveau yang berkaitan dengan tingkatan nilai dan hal-hal yang langsung bisa diindera karena visualitas dan ketampakannya. Dalam telaah puisi, lapisan nilai anorganik dapat dilihat melalui bentuk tipografi, susunan kata dalam baris, susunan baris dalam bait, rumus sajak, dan lain-lain. Dalam prosa, dapat dilihat dari aspek pengkalimatan, penyusunan paragraf, dan perwujudannya;
2. Niveau vegetatif, yakni niveau yang mengungkapkan adanya kehidupan yang alami dan naluriah. Struktur kalimat yang menunjukkan nilai tersebut misalnya: himbauan sang bayu, gelora samudra, kemarau berdebu, ketam merangkak di paya-paya, kucing menembus malam, dan sebagainya;
3. Niveau animal, yakni niveau yang melukiskan nilai-nilai yang sudah dicemari nafsu-nafsu rendah, keserakahan, kebinalan, kemesuman, kekejian, sampai hal-hal yang tercela. Misalnya, dapat dilihat dari adegan-adegan saling mencaci, nafsu menjarah, menggencet si lemah, perbuatan tidak senonoh, memasabodokan Tuhan, menghina, dan sebagainya;
4. Niveau humanis, yakni niveau yang merupakan lapis kehidupan yang sudah mengendapkan kesadaran kemanusiaan sebagai makhluk eksistensialis di muka bumi. Di sini dilukiskan juga masalah kesepian, meditasi, kerinduan, bahagia, cinta, cita, kasih sayang, dan keterbatasan. Begitu pula ungkapan hal-hal yang berkaitan dengan moral kemanusiaan serta hal-hal yang bersifat manusiawi. Kisah-kisah cinta yang menggetarkan seperti Romeo dan Juliet, ataupun sajak-sajak Chairil Anwar, W.S Rendra, Goenawan Muhammad, adalah karya sastra yang kaya akan niveau humanis;
5. Niveau metafisika/transendental/religius/filosofis, merupakan niveau perwujudan kesadaran manusia akan adanya “nilai-nilai yang lebih tinggi” daripada hal-hal yang tampak di permukaan dan keseharian. Adanya kesadaran akan dosa, rasa religiusitas, keimanan akan Tuhan dan kehidupan akhirat, pentingnya berbuat baik dan berbakti kepadaNya, merupakan perwujudan dari niveau ini.

J. Tolok Ukur Versi van Luxemburg
Jan van Luxemburg, dkk, (1989:47-48, dalam Suroso, dkk, 2009:77-78), menyatakan bahwa suatu penilaian tidak lepas dari interpretasi. Pilihan tentang metode interpretasi dan tolok ukur bergantung pada pendirian tentang sastra yang dianut. Adapun tolok ukur yang digunakan pada umumnya adalah:
1. Hampir selalu digunakan tolok ukur mengenai struktur. Suatu karya sastra dinilai berdasarkan rancang-bangunnya yang merupakan satu kesatuan;
2. Tolok ukur yang berdekatan ialah estetika. Karya sastra didasarkan pada penilaian kenikmatan keindahan melalui rancang-bangunnya;
3. Kualitas karya sastra dinilai berdasarkan wawasan yang diberikannya tentang pribadi, perasaan, atau niatan pengarang (ekspresivitas);
4. Karya sastra dinilai menurut gambarannya tentang kenyataan, wawasan tentang manusia, budaya, dan zaman (realisme);
5. Suatu karya adalah baik apabila karya itu memberi wawasan baru, memperkaya pengetahuan, dan dapat memberi sumbangsih bagi perubahan yang diperlukan masyarakat (kognitif);
6. Kualitas karya sastra dinilai menurut kadar kekuatannya untuk memungkinkan pembaca mengidentifikasi dengan apa yang dikisahkan sebagai pendirian (nilai rasa);
7. Suatu karya dapat dinilai dengan tolok ukur moral, yaitu sejauh mana karya itu mengemukakan sikap moral (yang dianggap benar);
8. Suatu karya dapat dinilai dengan tolok ukur tradisi dan pembaharuan. Dapat dihargai sebagai karya pembaharu atau justru kelanjutan yang sesuai dengan tradisi yang pernah ada dari suatu ragam atau kurun waktu tertentu. Dan aktivitas pembaca sangat dipentingkan dalam tolok ukur ini.
Apapun tolok ukurnya, Luxemburg menyatakan bahwa penilaian harus didasari oleh argumen yang jelas sehingga dapat diterima. Suatu argumen/alasan harus dibuktikan dengan menyertakan kutipan teks-teks yang mendukung penilaian dan menjelaskan teks-teks yang dikutip itu dengan berbagai pengalaman, wawasan, dan kemampuan sang krritikus.

*****

DAFTAR PUSTAKA

Fananie, Zainuddin. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press
Luxemburg, Jan van, dkk. 1989. Pengantar Ilmu Sastra (diindonesiakan oleh Dick Hartoko). Jakarta: Gramedia
Pradopo, Rachmat Djoko. 1997. Prinsip-prinsip Kritik Sastra (cetakan kedua). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Suroso, dkk. 2009. Kritik Sastra: Teori, Metodologi, dan Aplikasi. Yogyakarta: Elmatera Publishing