Jumat, 16 Juli 2010

RELIKUI KEBO KICAK MOSAIK JOMBANG

Relikui Kebo Kicak Mosaik Jombang

Biarlah rahasia tetap menjadi rahasia, sebab ada sesuatu yang musti tidak ditemukan bahkan diungkapkan (Lara Crouft).

Siapa menduga bahwa Jombang (dan daerah-daerah yang dinaunginya) adalah bekas pijakan yang dijejakkan Kebo Kicak ketika mengejar Surontanu (teman seperguruan di bawah asuhan Kiai Sumoyono, yang akhirnya menjadi musuhnya). Bekas pijakan tersebut diberi nama sesuai dengan latar-peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan daerah atau tempat tersebut.
(Dan mulai dari sini; bertabur rahasia, mitos, dan mistik. Tapi kini menantangnya. Mungkin “walat” akan menghantui tiap langkah hidupku. Semoga Tuhan melindungiku, karena Dia selalu bersama hambaNya yang beriman)
Joko Tulus adalah putra Wandan Manguri, cicit Celeng Kecék (masih memiliki hubungan darah dengan kerajaan Mojopahit). Sebelum menjadi Kebo Kicak, Joko Tulus adalah sosok yang patuh pada ajaran Hindu saat itu. Dia terkenal sebagai pribadi yang berbudi luhur dan berilmu tinggi. Namun, sombong mulai melingkupi batinnya. Tiba-tiba ia ingin dielu-elukan, bahkan disembah oleh penduduk sekitar. Joko Tulus mengamuk manakala tidak ada yang menuruti kemauannya. Ia kemudian mengobrak-abrik petilasan (kuburan, makam) buyutnya, Celeng Kecék. Ia copot batu nisan sang buyut sembari misuh-misuh, berbicara kotor dan tidak karuan.
Melihat hal itu, sontak arwah sang buyut muncul dan marah kepada Joko Tulus.
“Oalah, engkau mengamuk tanpa alasan di atas kuburan buyutmu sendiri, bahkan mengobrak-abrik kuburanku. Dasar cicit tak tahu diuntung! Apakah gerangan maumu? Ilmumu sudah tinggi tapi engkau malah berbuat tidak sopan di sini. Aku tidak rela dengan kelakuanmu ini. Jadilah engkau seperti kerbau yang tak punya adab!”
Begitulah soth (kutukan) sang buyut kepada Joko Tulus sehingga Joko Tulus berubah menjadi Kebo Kicak dikarenakan perbuatannya seperti kerbau yang mencak-mencak di tanah orang tanpa kenal sopan santun dan aturan.
Joko Tulus yang sudah berubah menjadi Kebo Kicak, menyadari dan menyesali kelakuannya. Penyesalan yang pastinya datang diakhir perbuatan dan membuat hidup tak nyaman karena menanggung perbuatan yang dilakukan sendiri. Selepas kejadian itu, Kebo Kicak bertualang dan meguru kepada Kiai Sumoyono. Kyai Sumoyono menerima Kebo Kicak seperti halnya murid-muridnya yang lain walaupun Kebo Kicak adalah manusia berkepala kerbau. Kiai Sumoyono juga mengetahui bahwa sang murid memiliki kelebihan yang tak dimiliki murid-muridnya yang lain, yakni kedalaman ilmu dan tidak bisa mati dengan mudah.
Di padepokan tersebut, Kebo Kicak bergaul dengan Surontanu, seorang pemuda yang juga memiliki kedigdayaan ilmu seperti Kebo Kicak. Surontanu berasal dari daerah Timur. Kedua sosok ini saling melengkapi selayaknya saudara yang saling membutuhkan satu sama lain. Persaudaraan yang berbuah permusuhan di kemudian hari dan akan mengguratkan tinta emas sejarah lahirnya Jombang (dan desa-desa yang bernaung di dalamnya).
(Semangsa yang lalu kau berucap. Kita ‘kan saling tatap. Menyebut purnama tanpa ratap. Tangis; menghapus rayap. Di antara jiwa juga malam pengap. Demi perasaan sehati juga seatap. Kubahasakan matari berikut cah’ya. Dengan kelopak pagi memantul pendarnya. Juga peraupanmu penuh binar. Kehidupan; setambat nafas hadirkan nyawa. Di suatu pokok reranting menjelma tubuhmu. Inikah diriku inikah dirimu. Bersatu pada satu nuansa. Bareng nama!)
Hingga pada suatu hari, Kebo Kicak merasa sahabatnya itu, Surontanu, tidak lagi menghormatinya, bahkan menganggapnya lebih rendah. Jiwa liarnya muncul kembali dan lebih murka daripada waktu mengobrak-abrik makam buyutnya. Mengetahui kemarahan Kebo Kicak, Surontanu lari tanpa sepengetahuan sang guru, Kiyai Sumoyono. Begitu pula pengejaran Kebo Kicak terhadap Surontanu yang sudah diliputi amarah yang tak terbahasakan, tanpa pamit. Ya, seringkali manusia lupa tentang keberadaannya di muka bumi, bahkan menganggap diri mereka Tuhan. Sedikit anugrah yang dilimpahkan Sang Mahakuasa telah membentuk renik-renik kedengkian dan kesombongan yang melebihi semesta. Sungguh, ceakalah manusia seperti itu.
Buah kedengkian dan kesombongan itu pun merajai hati Kebo Kicak. Ia pun mengejar Surontanu sampai di daerah yang banyak ditumbuhi buah salak. Daerah tersebut memang tempat yang tepat untuk bersembunyi. Masih sunyi dan belum terjamah manusia. Juga, baik buat bersemedi, menata hati untuk langkah selanutnya. Di kemudian hari, ing reja-rejane jaman, daerah tersebut dinamai desa Kalak. Di situ bertemu orang tandak tayub. Saking saktinya Kebo Kicak, Surontanu disabdo Kebo Kicak menjadi Sardulo (manusia berkepala macan). Kini, keduanya adalah manusia setengah hewan.
(Seringkali nasib berpihak pada orang yang mujur. Nasib tak bisa ditebak, karena nasib adalah kesunyian masing-masing [Chairil Anwar]. Nasib selalu menertawakan orang-orang apes. Maka berbahagialah dengan nasib!)
Setelah disabdo menjadi manusia berkepala macan, Surontanu lari ke sebuah desa dan berlindung di kediaman mbok Melik. Mbok Melik adalah sesepuh desa itu. Mbok Melik merasa iba dengan Surontanu, manusia setengah hewan, sehingga mau menyembunyikan Surontanu di rumahnya. Namun, Kebo Kicak mencium tempat persembunyian Surontanu. Kebo Kicak kalap. Ia membabat habis daerah tersebut. Rumah, pekarangan, manusia, tak luput dari amukan dan kebiadaban Kebo Kicak. Bumi pun seolah hendak digulung, bahkan langit ditantangnya. Nafsu dan amarah yang tak tertahankan ditumpahkan kepada makhluk yang tak bersalah. Sungguh naif. Dan, daerah itu pun sampai sekarang dikenal dengan nama desa Melik.
Atas saran Mbok Melik, Surontanu lari lagi dan bersembunyi ke tempat eyang, yang akhirnya tempat tersebut menjadi Tebuireng. Eyang yang dimaksud adalah Mbok Rondo Belang. Disitu, ia banyak membantu sang eyang. Karena daerah tersebut tumbuh subur tanaman tebu ireng (tebu berjenis hitam), maka daerah tersebut dinamakan Tebuireng.
Surontanu hijrah ke Barat, ke daerah Kejambon sekarang. Di daerah itulah pertarungan yang sebenarnya. Setelah lelah berlari dan bersembunyi, Surontanu akhirnya muncul dan menghadapi Kebo Kicak. Pertarungan sengit yang tak bisa dielakkan itu berlangsung selama beberapa hari. Surontanu mengalami kekalahan ketika bertarung di daerah yang sekarang disebut desa Bantengan. Memang karena pertarungan mereka yang liar dan ganas layaknya banteng atau karena Surontanu menggunakan senjata banteng tracak kencono mas (menurut versi lain selain versi Hindu ini), sehingga daerah itu dinamakan desa Bantengan. Entahlah! Makanya, desa Kejambon dan Bantengan sampai sekarang selalu cekcok, kisruh, tidak pernah akur dan selalu bertengkar antar pemudanya, dikarenakan mitos leluhurnya di masa lalu, yakni Kebo Kicak dan Surontanu yang bertarung di kedua daerah tersebut.
“Jika ada orang yang membangun rumah tanpa atap dhaduk (anyaman daun kering tebu), maka akan kena walat (musibah, bencana)!”
Itu adalah sebuah mitos, bahkan ada yang menganggapnya kutukan Kebo Kicak. Tiap kali warga desa Karang Kejambon membangun rumah, pasti beratapkan dhaduk. Atau kalau tidak begitu, pasti bagian belakang rumah mereka yang beratapkan dhaduk.
(Alang-alang melalang. Melang-melang. Hilang. Malang disekap alang-alang. Hilang di antara hutan alang. Di balik pilang-palang. Juga surai-surai menghampar dikelilingi semilir senja, mengatup ruang bias bagai biru cahaya mega, lelah menghamba pantang menyerah. Aku tak bisa menolak. Dia tak bisa mengelak. Berpacu dalam sandiwara. Lengkaplah sudah!)
Kalah dari kebo kicak, Surontanu meminta pertolongan kepada Kebo Bang Surowijoyo, yang merupakan pendekar tangguh di daerah Watugaluh (Megaluh). Kebo Bang Surowijoyo bertarung dengan Kebo Kicak. Kebo Kicak menggila. Watu Gilang yang menjadi penyumbat dam tangkis daerah tersebut, dijebol. Akibatnya, air sungai meluap dan membanjiri daerah di sekitarnya. Dan, sampai sekarang, daerah itu selalu dilanda banjir ketika musim penghujan tiba. Mungkin karena penyumbatnya dijebol Kebo Kicak di masa lalu, atau karena daerah tersebut lebih rendah ketimbang bantarang sungainya. Tak ada yang tahu pasti. Yang pasti, perbuatan Kebo Kicak telah merusak tatanan kehidupan masyarakat setempat yang butuh ketenangan hidup.
Pengejaran Kebo Kicak tak berhenti sampai di Watugaluh. Ia terus mengejar Surontanu yang lari ke daerah Bongkot (Peterongan). Surontanu yang tak tahu tujuan, bertemu Kiai Bongkot. Ia banyak diwejangi sang kiai dan mendapat banyak ilmu disana. Hingga, Kiai Bongkot memberi tahu Surontanu bahwa Kebo Kicak tidak akan bisa mati kecuali dibunuh oleh seseorang yang memiliki banteng tracak kencono. Banteng tracak kencono adalah semacam keris yang bentuknya sangat mini, bahkan terlihat seperti bukan benda pusaka. Dan yang memiliki benda tersebut adalah Joko Tamping, pendekar dari daerah Timur (sekarang disebut daerah Tamping Mojo).
Pengelanaan pun kembali dilakukan Surontanu. Sebab pengalaman adalah guru terbaik. Ia mencari sosok Joko Tamping sampai ke daerah Timur. Ia sowan kepada Joko Tamping dan menyampaikan maksud tujuannya. Ia ingin sang pendekar membunuh Kebo Kicak (manusia berkepala kerbau) yang selalu membuat onar di berbagai daerah. Joko Tamping menyanggupi dan mau membantu tanpa imbalan apapun.
Dan, pertarungan pun terjadi kembali. Kali ini lebih sengit ketimbang di daerah-daerah sebelumnya. Pertarungan antara Kebo Kicak dengan Joko Tamping yang akan menjadi akhir keonaran dan hidup Kebo Kicak. Karena merasa dipermainkan Surontanu karena selalu bersembunyi dari kejarannya dan meminta pertolongan kepada para pendekar atau sesepuh setempat, Kebo Kicak kian murka. Pertarungan sengit tak dapat dihindarkan. Keduanya memiliki jurus andalan masing-masing serta kekuatan mereka seimbang. Merasa duel ini menjenuhkan, Kebo Kicak sesumbar memancing Joko Tamping agar mengluarkan senjata rahasianya. Memang, sedari tadi Joko Tamping enggan mengeluarkan senjata pamungkasnya. Tapi akhirnya, dikeluarkannya juga senjata pusaka tersebut, yakni banteng tracak kencono. Mengetahui hal tersebut, Kebo Kicak makin sombong karena akan mengetahui kelemahan musuh sehingga berbalik membunuhnya. Joko Tamping tak tinggal diam. Tanpa pikir panjang, ia menghunuskan pusaka tersebut tepat di kepala Kebo Kicak. Tewaslah sang kebo.
Setelah kejadian tersebut, ada yang mengatakan bahwa jasad Kebo Kicak moksa (hilang tak membekas terbang ke langit); ada yang mengatakan bahwa jasad Kebo Kicak dibuang ke bantaran sungai Brantas oleh Joko Tamping agar tidak membekas di tanah Jombang dan mitosnya hanyut bersama alir sungai Brantas; ada pula yang mengatakan jasad Kebo Kicak disemayamkan di desa Karang Kejambon (sekarang Dapur Kejambon) dan setiap bulan Suro (bulan dalan kalender Jawa) diruwat agar desa tersebut damai, aman, tentram, dan sentosa.
Begitulah mitos, tidak bisa ditebak dan dirunut keberadaannya. Namun, apapun itu, Kebo Kicak telah memberi tracak (bekas jalan; jejak) bagi daerah-daerah yang sekarang menjadi bagian kota Jombang. Dan, sampai sekarang pun masih digali dan diungkap kebenarannya; dari manakah Jombang berasal? Apakah Jombang memiliki sejarah; riwayat?
Aku tak ingin jejakku ini menjadi perdebatan di kemudian hari. Aku hanya lewat, bukan menggurat. Sebab relikui hidup menjalani bagai cakrawala, menghisap semesta, menembus kosmos (Kebo Kicak).

*****

Lampiran:
Dan inilah para tokoh dalam perjalanan hidup Kebo Kicak sehingga nama-nama mereka diabadikan menjadi nama tempat atau daerah ketika Kebo Kicak melintas dan bertarung melawan Surontanu. Juga, diurutkan berdasarkan alur cerita Kebo Kicak hingga kematiannya, dan berdasarkan silsilah keluarga Kebo Kicak.
1. Bantang Boyo
2. Lirboyo (pak dhe/paman Joko Tulus/Kebo Kicak)
3. Kiai Bungkil
4. Wandan Manguri (ibu Joko Tulus/Kebo Kicak)
5. Joko Tulus (nama asli Kebo Kicak)
6. Celeng Kecék (buyut Joko Tulus/Kebo Kicak)
7. Buyut Pranggang
8. Prabu Browijoyo VII
9. Lembu Peténg
10. Surontanu
11. Kiai Sumoyono
12. Widuri
13. Melik
14. Sardulo
15. Kebo Bang Surowijoyo
16. Mbok Rondo Belang
17. Kiai Bongkot
18. Joko Tamping (pembunuh Kebo Kicak)

*****

Disarikan dari:
1) Nama : Pariyadi
Tempat, tanggal lahir : Jombang, --
Umur : 64 tahun
Agama : Hindu
Pekerjaan : seniman ludruk (tercatat sebagai anggota Palambang
[Paguyuban Ludruk Arek Jombang])
Alamat : Gudo Jombang

2) Nama : Mbah Nur
Tempat, tanggal lahir : Jombang, 20 Agustus 1944
Umur : 66 tahun
Agama : Hindu
Pekerjaan : guru spritual dan pemuka agama Hindu;
pengelola radio SBL (Suara Budi Luhur) FM
Alamat : Jalan Kandangan 24 Ngepeh, Rejoagung, Ngoro,
Jombang; telepon (0321) 6211380

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar