Jumat, 21 Januari 2011

NYANYI SUNYI KAUM PAPA

NYANYI SUNYI KAUM PAPA:
REPORTOAR PENTAS TEATER STUDI "ORKES BISU" PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA STKIP PGRI JOMBANG ANGKATAN 2007

“Lha yok opo, kate didelikno nang Leng semut pisan ta?” (Lha bagaimana lagi, apa mau disembunyikan di liang semut sekalian?). Jerit panjang mencekam dalam lubang kekuasaan membuat orang-orang yang berada di dalamnya merasa terusik kehidupannya. Siapa sangka, gembrengeng yang mengatasnamakan “pembangunan” itu semakin menghimpit masyarakat (Indonesia) dalam liang itu.
Itulah sekelumit reportoar yang disuguhkan Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Angkatan 2007 di Aula Darul Hikmah DEPAG Jombang; Kamis-Minggu, 7-10 Januari 2010, dalam pentas teater studi Orkes Bisu: Sinden karya Heru Kesawamurti (2007/A, sutradara Azwar Khamid R.); Opera Sembelit karya N. Riantiarno (2007/B, sutradara Rangga Dwi P.K); Madekur & Tarkeni atawa Orkes Madun I karya Arifin C. Noer (2007/C, sutradara Agus Arif); dan Léng karya Bambang Widoyo Sp. (2007/D, sutradara Miftachur Rozak).
Pada hari I, Sinden garapan Azwar Khamid R. dkk ini, “menampilkan” kehidupan langit yang damai dan tentram terusik oleh kelakuan para penghuninya yang korup. Keanehan yang tak bisa diatasi mereka sendiri, sampai-sampai harus turun ke bumi yang justru lebih kacau karena ulah manusia sendiri yang ternyata korup juga. Para dewata yang berusaha mencari penawar untuk mengembalikan kedamaian langit malah mencari sosok Sinden yang justru dibutuhkan juga oleh masyarakat Marcapada.
Itulah realitas kecil kehidupan berbangsa dan bernegara di bumi Nusantara ini, menjadi potret tersendiri dalam naskah Sinden karya A. Heru Kesawamurti, yang diangkat oleh Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2007/A. Realitas yang dibangun berdasarkan carut-marut tatanan sosial kelas atas terhadap kelas bawah (meminjam istilah Karl Marx) yang “sama-sama” rusak oleh kaum mereka sendiri. Sinden yanng menjadi simbol “kebaikan” dalam kehidupan diperebutkan untuk mencapai tujuan masing-masing. Tak ada yang tahu, bahwa Sinden juga manusia biasa, sosok perempuan yang juga tak lepas dari kodratinya sebagai pendamping laki-laki, ternyata banyak dicari orang. Apakah mungkin “perempuan” adalah makhluk yang dapat menyelesaikan segala permasalahan yang terjadi? Disinilah paham feminis yang coba diangkat dalam naskah dramawan asal Yogyakarta ini.
Perempuan ternyata masih dianggap sebagai “pemuas” kebutuhan kaum adam. Perempuan lebih dinyatakan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan laki-laki. Ketika semua orang jenuh dengan kehidupannya, maka jalan pelarian yang tepat adalah kepada perempuan. Tak hanya pemuas nafsu, perempuan juga dijadikan umpan untuk mencapai tujuan pribadi. Buktinya, Sinden yang bekerja menghibur orang lewat nyanyian dan tariannya, malah menjadi korban kebengisan orang-orang yang berkepentingan. Seharusnya, perempuan harus dilindungi dengan segenap tenaga, dijaga harkat mertabatnya, bukan dijadikan bulan-bulanan.
Khayangan pun geger dengan penduduk bumi. Perempuan dapat menimbulkan konflik bagi golongan yang berkepentingan. Tak hanya sesama, dengan orang atasan pun dapat menjadi perkara yang rumit. Ketimpangan sosial dan kehidupan bsa berubah total hanya gara-gara memperebutkan perempuan. Begitu besarnya-kah peran perempuan dalam kehidupan manusia, bahkan khayangan?!
Memang, keadaan yang genting akan membuat siapa saja berpikir tidak karuan. Bahkan menyimpang dari akal sehat. Para dewa yang merasa terganggu kedamaiannya, keadaan bumi yang juga makin terguncang oleh perang dan “pengambilan” paksa Sinden mereka, makin rumit dan kacau saja keadaan dua alam berbeda tersebut. Maka, sepatutnya-lah sosok pemimpin yang adil, bijaksana, dan mampu memimpin kaumnya dengan baik (di langit maupun di bumi) yang menjadi panutan dan khalifah untuk kaumnya agar kehidupan menjadi baik dan sesuai dengan apa yang digariskan.
Pada hari II, Opera Sembelit garapan Rangga Dwi P.K dkk ini menjadi “satu-satunya” pentas teater modern. Karena hampir semua naskah yang dipentaskan (selain Opera Sembelit) berkonsep teater tradisional; dengan musik tradisi khas masyarakat Jawa.
Tak ada yang tahu bahwa terdapat epidemi yang menyakitkan, yang lebih parah dari sebuah penyakit, yakni epidemi kerusakan moral. Epidemi ini merusak moral seseorang yang tak dapat membedakan lagi mana yang baik dan mana yang buruk; mana yang layak untuk dirinya dan mana yang tak layak. Kerusakan pun makin bertambah ketika seseorang yang memiliki pengetahuan lebih mengenai suatu permasalahan (dalam dunia akademik) tak mau menyelesaikan permasalahan tersebut, malah memanfaatkan kesempatan dalam kebingungan masyarakatnya. Ini adalah dusta yang “mendustai” masyarakat.
Warda, mulanya hanya merasakan sesuatu yang janggal pada dirinya: tinjanya mirip tinja kambing! Dan hal itu membuat Warda mengambil kesimpulan bahwa ia sudah dikutuk menjadi kambing.
Dr. Salim meneliti kasus Warda itu. Waktu berjalan. Setelah sebulan persis, Dr. Salim berhasil mengurai sebab-musabab penderitaan Warda. Terlambat. Warda justru tidak lagi mengeluarkan tinja kambing, melainkan sudah sampai kepada tahap perkembangan yang lebih gawat: ia tak mampu lagi buang tinja. Warda sudah sembelit!
Sembelit menjadi epidemi nasional. Semua orang dihajar “penyakit” itu. Padahal, sebelumnya banyak orang yang “buang tinja” seenaknya, di mana-mana. Dengan sangat antusias, mereka saling mengagumi tinja masing-masing. Mereka malah tega mempertontonkan tinjanya kepada orang lain. Lalu, sering dengan memaksa, meminta orang lain ikut mengagumi tinjanya itu. Suasana yang menekan, membuat orang takut untuk menolak. Krisis ini, sungguh sangat memprihatinkan.
Masyarakat sembelit berjalan tertatih-tatih, entah menuju kemana. Entah harus meminta tolong kepada siapa. Semua mulai merindukan tinja atau “kotoran” tubuh lainnya. Meski ada pula yang berhasil meminimalisir rasa sakit akibat sembelit. Menjadikannya sebagai “kewajaran” dalam kehidupan yang berjalan ke arah suasana sangat pesimistik. Apapun upaya penyembuhan, dianggap cuma sia-sia belaka.
Tentu ada yang diuntungkan oleh keadaan itu, Dr. Salim dan kliniknya! Bagi yang mampu membayar, Dr. Salim diminta untuk mengeluarkan tinja lewat cara pembedahan. Kenyataannya: di perut dan usus, tak secuil tinja pun ditemukan. Tapi secara manipulatif, Dr. Salim, memberi bukti “tinja palsu” kepada para pasiennya. Dan untuk keperluan itu, ia mendirikan banyak pabrik tinja palsu. Bisnisnya maju pesat. Banyak orang percaya.
Opera Sembelit karya N. Riantiarno (Teater Koma), dibuat tahun 1997 dengan penuh keprihatinan dan “rasa ngeri”. Masyarakat macam bagaimanakah yang kira-kira bakal dilahirkan oleh suatu “masyarakat sembelit”? Tuhan Mahatahu. Hanya Dia yang menyimpan jawabannya!
Di hari III, naskah garapan Arifin C. Noer, Madekur & Tarkeni atawa Orkes Madun I, coba ditampilkan Agus Arif dkk lewat bentuk kolosal panggung modern. Dalam kisahnya, Tarkeni, seorang pelacur, dan Madekur, seorang pencopet, memiliki keinginan untuk menjadi suami istri, namun pemikiran dan keinginan mereka terbentur dengan pemikiran orang lain yakni kedua orang tua mereka sendiri yang tidak setuju dengan keinginan mereka menjadi suami-istri seperti masyarakat pada umumnya. Mereka tidak memikirkan keadaan sekitar yang tidak setuju dengan pemikiran dan keinginan mereka, meskipun itu berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang kuat bahkan berniat baik. Inilah yang menjadi ciri bahwa manusia makhluk individu yang ingin tercapai keinginannya berdasarkan pikiran, perasaan, dan hati mereka sendiri.
Dalam perkembangan cerita yang dilakonkan oleh Madekur dan Tarkeni. Madekur dan Tarkeni terus berusaha merealisasikan pemikirannya walaupun mereka harus berpisah dengan kedua orang tua mereka karena pemikiran dan keinginan yang berbeda. Pada waktu dimana Madekur dan Tarkeni harus menjalankan keinginannya maka hal itu pun terjadi dan tak ada yang menghalangi mereka menikah dan menjalani pekerjaan sebagai pelacur dan pencopet.
Kebebasan manusia ini memberi suatu kepuasan tersendiri dan menjadikan manusia membentuk dirinya sesuai dengan keinginannya hingga mereka akan merasakan kebahagiaan sesungguhnya atau yang diharapkan masing-masing individu, meskipun dalam pandangan orang lain itu merupakan suatu siksaan atau penderitaan. Hal ini terjadi juga pada lakon Madekur dan Tarkeni setelah mereka menjalani kehidupan yang dianggapnya sesuai dengan pemikiran dan keinginannya, pada akhirnya juga dianggap penderitaan oleh orang lain dimana Madekur mengalami cacat akibat pekerjaan mencopetnya dan Tarkeni sendiri mengidap penyakit yang membuat dirinya atau jasadnya rusak (HIV/AIDS) sehingga membuat mereka terdiam untuk selamanya. Walaupun demikian mereka tetap merasakan kepuasan hidup dan kisah ini menjadi gambaran kuat tentang keberadaan manusia yang bebas berpikir, bertindak, mengemukakan pendapat, dan memilih jalan hidup yang dianggap paling baik.
Kesedihan, tangis, dan canda tawa menjadi ruang dalam kisah lampau hingga saat ini. Pementasan ini akhirnya menjadi durasi representasi potret ruang dimana setiap orang sebenarnya mencari tempat dimana mereka dapat mencari yang tinggi ataupun sebaliknya mencari yang lain bagi hidupnya.
Madekur dan Tarkeni mengajak penonton pada refleksi postmodernitas yang begitu sarat dengan kegalauan dari isu pencopet, pelacur kematian hingga berbagai disorientasi kehidupan. Dan, Agus Arif besama kawan-kawan Angkatan 2007/C berhasil membawakan naskah Arifin C. Noer ini dengan cukup apik.
Dan hari IV, Léng karya Bambang Widoyo Sp. membuat klimaks tersendiri dari rangkaian pentas teater studi selama empat hari. Bagaimana tidak, drama garapan Miftachur Rozak bersama Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Angkatan 2007/D ini, berhasil memikat seluruh isi aula dengan konsep khas ludrukan gaya Jombangan. Naskah berbahasa Jawa ini sangat padu bila dibawakan dengan konsep ludruk. Ini memang sangat langka, karena hampir jarang ada yang mementaskan teater-teater tradisi, apalagi digarap secara tradisi pula, sehingga terlihat perpaduan budaya Jawa Tengah (Solo, dimana Léng berasal) dan Jawa Timur (Jombang, dimana ludruk berasal).
Tak habis dirundung duka. Sebuah kalimat dialektis mencoba menyadarkan pada kita semua bahwa keterdukaan selalu melingkupi tiap manusia; manusia “kelas bawah”. Realitas yang selalu menyudutkan mereka dalam hidup dan kehidupan, bak keset kaki bagi orang bersepatu.
Orang bersepatu disini adalah tokoh Juragan dalam naskah Kenthut (sapaan Bambang Widoyo Sp.). Sosok yang seharusnya mengayomi masyarakat di sekitar pabrik “lelara” yang didirikannya, ternyata menjadi manusia rakus yang hanya bisa memperkaya diri sendiri tanpa peduli dengan keadaan lingkungannya. Memenuhi pundi-pundi hartanya dengan memeras masyarakat pinggiran (baca; marginal) tanpa ampun. Kelaliman sang Juragan tak sampai disitu, makam yang dikeramatkan di desa Bakal tersebut bahkan hendak dimilikinya dengan sistem shift, sebuah sistem yang disamakan kerja pabrik, justru membuat makin sengsara masyarakat sekitar, terutama para pengunjung makam.
Dan orang-orang seperti Pak Rebo (jurukunci makam Kyai Bakal), Mbok Senik (tukang pijet yang mengais rezeki di sekitar makam), Kecik (PSK yang juga sering mangkal di makam), dan Janaka (PNS yang berkholwat di dalam makam), pastinya merasa tidak nyaman dengan peraturan tersebut dan “perebutan” paksa sumber berkah kehidupan mereka, yakni makam Kyai Bakal.
Reportoar ini mencapai klimaks ketika sang pembela rakyat, Bongkrek, melawan kelaliman itu. Dengan mencoba menghancurkan pabrik dari dalam; menurutnya lebih efektif ketimbang hanya berkoar tanpa tujuan jelas (baca; demonstrasi). Namun, kekuasaan besar sang Juragan mampu “melenyapkan” tokoh semacam Bongkrek tanpa jejak.
Ya. Sekuat apapun melawan, pada akhirnya sang penguasa-lah yang “menang”. Menang harta, wewenang, kekuasaan, dan politik, karena baginya, tak ada yang tak bisa dengan uang! Dan, drama berbahasa Jawa Bambang Widoyo Sp., yang telah disadur ke dialog Jombang ini merupakan bahan kontemplatif bagi kita, manusia, sebagai khalifah di muka bumi, bumi yang kian sempit oleh rakusnya manusia!
Memang, pementasan di Aula Darul Hikmah Depag Jombang, 7-10 Januari 2010 ini, menjadi tontonan yang menarik untuk menjadi bahan pembelajaran, perenungan, bahkan hiburan yang mampu menyentuh alam sadar para penontonnya. Karena sebuah teater tak hanya sebagai bahan subyektif belaka, namun juga bahan pemikiran untuk kehidupan yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar