Senin, 21 November 2011

Ilmu Sastra Perbandingan (ISP)

Pengertian dan Sejarah

Ilmu sastra perbandingan (ISP) meneliti sastra dalam kerangka suprarasional. Ilmu ini terutama mempelajari gejala-gejala sastra konkret yang kait-mengait dan dalam perkembangan sejarah. Dengan lain perkataan, ISP berkiblat pada gejala-gejala atau fenomena. Masalah-masalah umum seperti teori analisa cerita atau masalah mengenai hakikat dan fungsi sastra tidak termasuk bidang penelitian ISP. Ini tidak berarti bahwa ISP tidak bersandar pada suatu dasar teori. ISP mempergunakan pandangan-pandangan dari ilmu sastra teoretis. Teori-teori deskriptif seperti teori metafora, naratologi, dan sebagainya diperlukan untuk membanding-bandingkan berbagai teks. Di samping itu, ISP mengembangkan teori-teorinya sendiri. Demikian misalnya ISP diharapkan mendefinisikan istilah “sastra nasional”. Adakah itu ditentukan oleh pembatasan politik, geografi, atau linguistik? Adakah sastra Jerman Barat dan Jerman Timur merupakan keseluruhan atau terbelah menjadi dua? Adakah tanah Belgia memiliki dua macam sastra atau cuma satu?

Dahulu, salah satu dasar pengertian ISP ialah istilah "pengaruh". Tidak hanya ditentukan kemiripan antara prosede-prosede, karya-karya, serta aliran-aliran, tetapi juga ditelusuri kembali bagaimana pengaruh-pengaruh itu diterapkan. Dewasa ini konsep tersebut yang agak berbau positivisme telah dikesampingkan; perhatian dialihkan kepada syarat-syarat penerimaan serta kemungkinan-kemungkinan diterimanya pengaruh dari sastra asing. Dari segi ini, pembinaan teori di dalam ISP mencerminkan perkembangan dalam ilmu sastra teoretis serta penulisan sejarah sastra.

Dalam mendefinisikan sederet pengertian ISP secara metodik menempuh jalan yang sama seperti penulisan sejarah sastra; hanya objeknya yang berbeda. Ini misalnya berlaku bagi pengertian seperti mazhab, aliran, angkatan, dan periode. Khusus mengenai pengertian periode tahun-tahun terakhir ini ternyata merupakan suatu bidang penelitian yang bermanfaat guna menyusun sebuah teori. Menurut peneliti utama dalam bidang ini, RenĂ© Wellek, yang berasal dari kalangan strukturalisme Ceko, maka yang dimaksudkan dengan “periode” ialah sebuah sistem norma yang menguasai sastra pada suatu saat tertentu di dalam perkembangan historiknya. Di dalam batas suatu karya saja sistem norma itu jarang dilaksanakan sepenuhnya, tetapi karya itu menentukan sejumlah sifat yang serupa antara karya-karya sastra dari suatu periode tertentu. Wellek antara lain mengadakan penelitian pengertian seperti Barok, Klasisisme, Romantik, Realisme, dan Simbolisme. Dengan meneliti dan menentukan periode-periode, seorang peneliti sastra dapat membagikan lautan fakta sastra sehingga dengan lebih mudah dapat ditinjau. Ini juga berlaku bagi penelitian mengenai jenis-jenis sastra yang juga merupakan suatu bidang penting bagi penelitian ISP. (Luxemburg, dkk., 1989: 212-214)

Rujukan:
Luxemburg, Jan Van, Mieke Bal dan Willem G. Weststeijn. 1989. Pengantar Ilmu Sastra (cetakan ke-3). Dick Hartoko, penerjemah. Jakarta: Gramedia.

Rabu, 16 November 2011

Sejarah Linguistik Historis Komparatif

a. Periode I (1830-1860)
Periode ini dimulai dengan Franz Bopp (1791-1867) dan diakhiri dengan August Schleicher.
Franz Bopp dianggap sebagai tokoh yang meletakkan dasar-dasar Ilmu Perbandingan Bahasa. Secara sistematis, ia membandingkan akhiran-akhiran dari kata-kata kerja dalam bahasa Sansekerta, Yunani, Latin, Persia, dan German, yang diterbitkan dalam tahun 1816.
Kemudian tahun 1818 Rasmus Kristian Rask (1787-1832) memperlihatkan bahwa kata-kata dalam bahasa-bahasa German mengandung unsur-unsur bunyi yang teratur hubungannya dengan kata-kata bahasa-bahasa Indo-Eropa lainnya. Hal itu diungkapkannya dalam bukunya tentang asal-usul bahasa Eslandia Under Sogelse om det gamle Nordiske eller Islandske Sprogs Oprindelse (Kopenhagen, 1818).
Apa yang dibicarakannya dalam buku itu jauh lebih luas dari apa yang dikatakannya dalam judul bukunya. Ia membandingkan bahasa-bahasa German, terutama German Utara, bahasa-bahasa Baltik, Slavia, dan Keltik, serta dimasukkan pula bahasa-bahasa klasik termasuk bahasa Baskia dan Finno-Ugris. Penemuannya yang paling penting adalah pertukaran bunyi (Lautverschiebung) antara bahasa Jerman di satu pihak dan bahasa-bahasa Latin-Yunani di pihak lain. Hubungan-hubungan bunyi itu kemudian disempurnakan lagi oleh Jakob Grimm dan kemudian dikenal dengan nama Lautgesetz (Hukum Bunyi) atau apa yang dikenal juga dengan nama Grimm’s Law (Hukum Grimm). Apa yang dicapai dan dirumuskan oleh Jakob Grimm dapat dibaca dalam bukunya Deutche Grammatik, jilid II, diterbitkan dalam tahun 1819. Istilah Grimm’s Law baru dipakai pada edisi kedua dalam tahun 1822. Pergeseran bunyi yang dicatat oleh Jakob Grimm dapat dilihat halaman. 47. Suatu hasil penting lain dari periode ini adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh Friedrich von Schlegel (1772-1829) seperti yang dituangkannya dalam bukunya Uber die Sprache und Weisheit der Inder (1808). Dalam buku itu bukan saja ia berhasil menunjukkan hubungan antara bahasa Sansekerta, Yunani, Latin, Persia, dan German, tetapi juga berhasil menetapkan bahasa-bahasa itu sebagai bahasa fleksi. Sebab itu ia membagi bahasa-bahasa di dunia atas dua kelas besar, yaitu bahasa fleksi dan bahasa berafiks. Kakaknya, August von Schlegel, menambahkan kelas tipologis yang ketiga sehingga menjadi: bahasa fleksi, bahasa berafiks, dan bahasa tanpa struktur gramatikal. Dalam periode ini telah dimulai juga penyelidikan etimologis kata-kata, tetapi dengan mempergunakan metode yang lebih baik dari masa sebelumnya. Tokoh utamanya adalah F.Pott (1802-1887) dengan bukunya Etymologische Forschungen auf dem Gebiete der indogermanischeen Sprachen (Lemgo, 1833-1836). Seorang tokoh lain yang perlu disebut namanya adalah Wilhelm von Humboldt (1767-1835). Ia mengemukakan suatu klasifikasi atas bahasa-bahasa di dunia yang umum diterima sebagai penyempurnaan dari klasifikasi von Schlegel. Idenya itu dicetuskan mula-mula dalam tahun 1822, tetapi kemudian disempurnakan antara tahun 1830-1835 dalam bukunya Uber die Verschiedenheit des menschlichen und ihren Einfluss auf die geistige Entwicklung des Menschengeschlechts, yang sekaligus merupakan pendahuluan dari bukunya yang terdiri dari tiga jilid Uber die, Kawisprache auf der Insel Java. Untuk klasifikasinya itu ia mempergunakan istilah yang lazim dipakai sampai sekarang, yaitu: bahasa isolatif (menggantikan istilah von Schlegel ‘bahasa tanpa struktur gramatikal’), bahasa fleksi, bahasa aglutinatif (menggantikan istilah von Schlegel ‘bahasa berafiks’), dan bahasa inkorporatif.

b. Periode II (1861-1880)
Periode dimulai dengan seorang tokoh terkemukan August Schleicher (1823-1868) dengan bukunya yang terkenal Compendium der vergleichenden Grammatik. Buku ini memuat semua hasil yang telah diperoleh sejauh itu, di samping itu ia mengemukakan pengertian-pengertian baru seperti Ursprache (proto language) yaitu bahasa tua yang meneurunkan sejumlah bahasa-bahasa kerabat. Dengan konsep Ursprache inilah kemudian dicetuskannya Stammbaumtheorie dalam tahun 1866. Dalam Stammbaumtheorie-nya ia melihat adanya organisme bahasa yang kemudian berkembang dari satu suku kata sebagai akar menjadi kata-kata baru berdasarkan perubahan-perubahan paradigmatic dan derivasional, yang menjadi ciri dan bahasa fleksi. Tokoh yang kedua adalah G.Curtius (1820-1885). Ia berjasa besar dalam menerapkan metode perbandingan untuk filologi klasik, khususnya ia mempelajari bahasa Yunanai, sebagaimana yang dikemukakannya dalam bukunya Grundzuge der griechischen Etymologis (1856-1862).
Tokoh-tokoh lain yang perlu dicatat dalam periode ini adalah Max Muller (1823-1900) dan D.Whitney (1827-1894). Max Muller berjasa dalam memperluas horison pengetahuan ilmu bahasa berkat karyanya Lectures in the Science of Language (1861). Max Muller menghubungkan kelas-kelas bahasa dengan tipe-tipe sosial; bahasa isolatif adalah bahasa keluarga, bahasa aglutinatif adalah bahasa bangsa pengembara (nomadis), dan bahasa fleksi adalah bahasa masyarakat yang sudah mengenal negara. Max Muller memperkenalkan istilah analitis dan sintetis untuk menyebut bahas isolatif dan fleksi berdasarkan kemungkinan segmentabilitas dari unit-unitnya. Sebaliknya, D.Whitney menambhakan istilah polisentetis untuk menyebut bahasa inkorporatif.

c. Periode II (1880-akhir abad XIX)
Penemuan-penemuan baru yang diperoleh dalam tahun 1870-1880, mempengaruhi juga perkembangan Ilmu Bahasa. Dalam periode sesudah 1880, muncullah suatu kelompok ahli tata bahasa yang menamakan dirinya Junggrammatiker (Neo-Grammatici). Mereka tertarik akan hokum-hukum bunyi yang telah dirumuskan oleh Jakob Grimm. Mereka menambahkan lagi kaidah-kaidah baru pada hokum-hukum bunyi yang sudah ada: “Bunyi-bunyi berubah menurut Hukum Bunyi tertentu tanpa kecuali (ausnahmlos)”. Aliran ini bergerak di sekitar Leipzig dengan tokoh-tokoh seperti K.Brugmann (1848-1919), Osthoff dan Leskien. Mereka juga berhasil menarik seorang muda untuk belajar di sana, yang kemudian menjadi tokoh linguis Amerika yang terkenal, yaitu Leonard Bloomfiled.
Hukum bunyi yang sudah diberi status yang lebih kuat karena berlaku tanpa kecuali, dipertahankan mati-matian. Bila terdapat penyimpangan, maka hal itu bukan merupakan kekecualian, tapi merupakan penerapan dari suatuh ukum bunyi yang lain, yaitu perubahan yang disebabkan oleh adanya penyesuaian atau peniruan bentuk-bentuk yang sudah ada dalam bahasa.
Karya utama yang kemudian diikuti oleh ahli-ahli lain dari zaman ini adalah Grundriss der vergleichenden Grammatik der indogermanischen Sprachen (1866-1900) yang disusun bersama oleh Karel Brugmann dan B.Delbruck, yang terdiri dari lima bagian. Bagian pertama dan kedua disusun oleh Brugmann yang membicarakan fonologi, morfologi, dan pembentukan kata, sedangkan ketiga bagian lain ditulis oleh Delbruck mengenai sintaksis.
Untuk memecahkan beberapa masalah yang terdapat dalam Stammbaumtheorie dari Schleicher, seorang sarjana lain J.Schmidt (1843-1901) mencetuskan sebuah teori baru yang disebut Wellentheorie (Teori Gelombang, Wve Theory), bahwa antara dialek-dialek ada bentuk-bentuk antara yang menyulitkan batas antardialek. Seorang ahli lain berkebangsaan Denmark, Karl Verner, dalam tahun 1875 menjelaskan kekecualian yang terdapat pada Hukum Bunyi Rask dan Grimm, khususnya mengenai pertukaran bunyi bahasa-bahasa Indo-Eropa, yang kemudian dikenal dengan Hukum Verner. Tokoh-tokoh lain yang perlu disebut namanya adalah Hermann Paul (1846-1921) dengan bukunya Prinzipien der Sprachgeschicte (1880); H.Steinthal (1823-1899) yang mencoba membagi-bagi bahasa-bahasa dengan landasan psikologi; Fr.Muller (1843-1898) dengan bukunya Grundis der Sprachwissenschaft (1876-1888).

d. Periode IV (awal abad XX)
Ilmu Bahasa dalam awal abad XX sebenarnya sudah dimulai dengan penemuan-penemuan dari abad XIX. Penemuan-penemuan pada abad XIX yang belum memberi ciri khusus sebagai aliran yang khas, baru menemukan bentuknya yang khas itu pada awal abad XX. Sebab itu juga pada awal abad XX lahirlah bermacam-macam aliran baru dalam Ilmu Bahasa. Aliran-aliran yang terpenting adalah:
• Fonetik berkembang sebagai suatu studi ilmiah. Sejalan dengan perkembangan itu para ahli mencurahkan pula penelitian atas dialek-dialek. Untuk itu dikembangkan metode-metode yang dipinjam dari fisiologi dan fisika (elektro-akustik).
• Sejala dengan perkembangan studi atas dialek-dialek dengan mempergunakan metode-metode fisiologi, fisikan dan psikologi, maka muncul pula cabang baru dalam Ilmu Bahasa yaitu Psikolinguistik dan Sosiolinguistik.
Sebenarnya Psikolinguistik sudah mulai ditanamkan dasar-dasarnya oleh Steinthal, Hermann Paul, dan lebih dulu lagi oleh Wilhelm von Humboldt, yang mengaitkan studi bahasa dengan jiwa manusia. Sosiolinguistik merupakan perkembangan lebih jauh dari studi dialek-dialek. Salah seorang tokohnya adalah W.Wundt (Voklerpsychologie).
• Suatu aliran lain dari awal abad XX adalah aliran Praha, yang muncul sebagai reaksi terhadap studi bahasa yang terlalu halus sampai kepada bahasa individual (idiolek). Mereka lebih menekankan bahasa yang sebenarnya, yaitu keseluruhan bentuk dan makna, dengan menekankan fungsi bunyi, sedangkan ciri-ciri fisiologis adalah soal kedua. Aliran ini berorientasi pada gurunya Ferdinand de Saussure. Ferdinand de Saussure (1857-1913) mengembangkan studi bunyi bahasa dan bentuk bahasa dengan tulisannya yang terkenal Memoire sur le Systeme primitif des Voyelles dans le Languages Indo-Europeennes (1879).

Berhasil tidaknya LHK banyak bergantung dari kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan dalam Linguistik Deskriptif. Sebaliknya, kesahihan kesimpulan dalam Linguistik Deskriptif tergantung dari kecermatan pencatatan data-data di lapangan. Sebab itu, dapat dikatakan bahwa keberhasilan LHK tergantung dari pencatatan data-data di lapangan. Data-data di lapangan itu sama nilainya dengan artefak-artefak apada Arkeologi. Data-data dari bahasa yang ada sampai sekarang dianggap sebagai data-data yang mencerminkan keadaan masa lampau bahasa-bahasa. Sebab LHK akan bergandengan erat dengan Linguistik Deskriptif, atau data-data kontemporer pada bahasa-bahasa sekarang.


* * * * *

(Sumber: Keraf, Gorys. 1984. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: Gramedia.