Minggu, 07 Februari 2016

Sesudah Kesialan akan Datang Keberuntungan

Sesudah Kesialan akan Datang Keberuntungan
(Resensi atas buku "Sundari Keranjingan Puisi dan Cerita-cerita Lainnya" karya Gunawan Tri Atmodjo)

Sebuah cerita yang baik haruslah memenuhi komposisi yang tepat, baik secara intrinsik maupun sepaket unsur lain yang membuat cerita tersebut mempunyai dunia rekaannya sendiri. Gunawan Tri Atmodjo menghadirkan cerita-cerita tersebut dalam kumpulan cerpen berjudul Sundari Keranjingan Puisi dan Cerita-cerita Lainnya ini. Cerita-cerita dalam buku ini lebih mengedepankan kekuatan alur, narasi apik, dan ending cerita yang menarik.
Memang ada hal lain yang mendukung penjelasan itu. Namun tak bisa dipungkiri bahwa aspek kesederhanaan juga mempunyai peran penting dalam perwujudan sebuah cerita. Kesederhanan yang dimaksud di sini adalah soal tema yang dipilih dan bahasa yang digunakan dalam pembentukan cerita tersebut.
Untuk soal pertama, dapat disimak pada cerita Linda dan Lukman. Sebuah hal sederhana namun berkonsekuensi besar, yakni janji. Bermula dari sebuah SMS nyasar menjelang ulang tahun tokoh Linda: “Tapi Linda telah berjanji pada dirinya sendiri dan pantang baginya untuk mengingkari. Maka dia pun menghubungi momor pengirim sms itu meski dia tahu bahwa itu adalah pesan penipuan. Barangkali ini adalah tindakan bodoh, tapi akan lebih celaka lagi jika ia tak menepati janji sederhana itu.” Kita dapat memahami kesederhanaan bahasanya, namun berkekuatan pada alur dan amanat ceritanya.
Sebagian besar cerita dalam buku ini belum pernah dipublikasikan di media cetak. Gunawan tentu memiliki alasan sendiri mengapa demikian. Hal ini tentu bukan tanpa pretensi apapun. Sebagaimana trubadur, cerita-cerita dalam buku ini juga semata-mata sebagai hiburan, penghapus duka-lara, pembikin pembaca tersenyum bahkan tertawa sendiri; yang disampaikan dengan cinta. Ada pelajaran tersembunyi dalam tiap kelakar cerita yang memantik ruang-pikir pembaca sehingga menyulutkan inspirasi. Tidak sampai di situ, Gunawan juga menyelipkan hal-hal sederhana yang biasa dijumpai dalam keseharian bahkan tak pernah diduga. Simak cerpen berjudul Doraemon dan Korban Pemilu, Haji Inul dan Ayat Bajakan, atau Catur dan Beberapa Hal yang Sebaiknya Kau Ketahui.
Sebagian besar dari kita tentu mengenal Doraemon. Tokoh rekaan Fujiko F Fujio asal Jepang ini dikenal hampir semua anak di Indonesia. Dalam cerpen Doraemon dan Korban Pemilu, tokoh “aku” begitu sedih ketika film kartun ini akan segera tamat sedangkan ia belum tahu bagaimana sosok ayah Giant dan Shizuka. Sangat sepele! Akan tetapi, akibat fanatisme berlebihan, menjadi sangat tidak sepele ketika tokoh aku dengan susah-payah bekerja keras dan menggadaikan sertifikat rumah keluarganya untuk biaya ke Jepang, negara dimana anime itu diciptakan. Dan ia berhasil menemukan jawabannya (yang tentu saja dirahasiakan). Berbeda dengan fanatisme para calon anggota dewan yang gagal menjadi anggota dewan dan menjadi gila usai pemilu.
Cerita-cerita yang menarik dan menyentuh lubuk dasar benak pembaca adalah cerita-cerita yang barangkali saat ini diperlukan. Setali dengan endorsement Joko Pinurbo bahwa sastra yang inspiratif adalah sastra yang antara lain mampu mengubah cara pandang terhadap sesuatu, misalnya hal pelik yang disampaikan dengan cara bersahaja. Atau catatan M Faizi, bahwa cerita-cerita ini adalah cerita-cerita yang biasa dan santai, namun serius dalam berkelakar. Dan, seperti itulah adanya cerita-cerita yang termaktub dalam buku terbaru Gunawan ini.
Sebagian besar cerita dalam buku ini merupakan cerita-cerita yang biasa, cerita-cerita yang kita temui sehari-hari, dan tentu saja santai. Tak ada gaya bahasa neko-neko atau kata-kata yang njlimet. Semua tampak bersahaja dan apa adanya. Namun, di balik semua itu, ada daya inspiratif yang menyentuh lubuk dasar benak pembaca dan membuat kita, tanpa sadar, menganggukkan kepala, atau sekadar mengiyakan dalam hati. Sederhana dan kocak.
Nilai-nilai luhur berupa ikhtiar dan doa dalam menjalani laku hidup di dunia juga coba ditanamkan Gunawan dalam beberapa ceritanya. Meski tindakan yang dilakukan tokoh-tokohnya dianggap konyol dan tabu, namun bilamana demi kebaikan dan kebahagiaan orang lain, maka hal itu dianggap sah-sah saja. Tidak menjadi soal.
Coba simak cerpen berjudul Menantu Teladan. Diceritakan bahwa seorang menantu yang dulunya seorang petaruh dan setelah menikah meninggalkan pekerjaannya itu dan menjadi makelar motor. Konflik dimulai ketika si menantu harus membayar biaya perawatan rumah sakit yang dijalani mertuanya. Lantaran semua barang berharga di rumah sudah disekolahkan alias digadaikan, maka satu-satunya yang tersisa adalah sertifikat rumah. Berawal dari rayuan teman-temannya di warung kopi, jiwa si menantu yang dulunya pejudi muncul. Uang hasil menggadaikan sertifikat itu dipakainya untuk taruhan bola. Dengan harapan tentu saja bisa menang dan dapat mengembalikan pinjaman itu tanpa bekerja muluk-muluk. Dan tampaknya Gunawan ingin menegaskan bahwa bila ada niat baik, sekecil zarah pun, maka apapun tindakannya dianggap baik pula. Si menantu pun menang dan dapat mengambil sertifikat itu keesokan harinya seusai ia melunasi semua biaya mertuanya. Masalah yang pelik pun tuntas berkat doa dan keberuntungan. Setidaknya nama baikku masih terjaga, baik sebagai seorang suami yang mengayomi maupun sebagai menantu yang patut dibanggakan. (hal. 67). Begitulah premis yang ingin Gunawan tegaskan.
Pun dengan cerita lain, yang menawarkan pemecahan masalah dengan doa dan keberuntungan. Simak saja cerita 9 Koi, Penghitung Keberuntungan, atau Penjual Kantuk. Ada kekuatan doa dari tokoh utamanya dan keberuntungan yang akhirnya mengikuti. Dua hal yang sederhana namun sering luput dari kehidupan yang kian hedon. Dua hal yang senantiasa diperlukan di tengah kehidupan yang kian tak masuk akal. Bagaimanapun, sesudah kesulitan pasti ada kemudahan. Sesudah kesialan akan datang keberuntungan.
Gunawan tampak memperlakukan ceritanya pada pandangan Horatius: dulce et utile. Ada unsur hiburan sekaligus faedah dalam ke-16 cerpen ini. Tentu hal tersebut tak perlu dinafikan, sebab, bagaimanapun, sebuah karya sastra (cerpen dalam hal ini) harus mampu menjadi hiburan sekaligus bermanfaat bagi pembacanya. Sekecil apapun itu. Bukan berarti lantas dengan begitu sebuah cerita menggurui pembaca dan abai akan sikap kritis pembaca. Sebagaimana dalam cerpen Untuk Siapa Kau Berdoa, Ana?. Ada pesan relijius di sana, bahwa sepayah apapun kita menjalani hidup, berdoa adalah keniscayaan sebagai makhluk bertuhan, meski doa yang rutin dimunajatkan tak pernah langsung kita rasakan mustajabnya.
Simak pula dalam cerpen 9 Koi: “Dengan kata lain, selain adu kualitas tulisan juga adu kuat doa antarpengirim tulisan. Perkara doa ini dia hanya mampu melafalkannya setulus-tulusnya dan menyerahkan pengabulannya kepada kuasa Tuhan Yang Maha Esa.” (hal. 11).
Meskipun dalam hidup sudah barang tentu terdapat kesialan-kesialan yang tidak diinginkan dan tak pernah diduga muasalnya. Setidaknya, sebagai pembaca, kita diajak untuk senantiasa percaya bahwa ada keberuntungan tersembunyi di balik itu. Bukankah setelah kesukaran akan datang kemudahan: setelah kesialan akan datang keberuntungan? Konsep berpikir positif inilah yang coba ditanamkan Gunawan dalam buku ini.
Kesederhanaan tema bukan berarti menyederhanakan bentuk cerita. Dengan kesederhanaan ada hal-hal mesti tersampaikan dan membuka gaya gedor pikiran dan nurani pembaca, sehingga cakrawala pengetahuan semakin luas. Juga kebaikan. Dan sampai di sini, Gunawan telah berhasil dengan hal itu. (*)


Data Buku

Judul buku : Sundari Keranjingan Puisi dan Cerita-cerita Lainnya

Pengarang : Gunawan Tri Atmodjo

Penerbit : Marjin Kiri

Cetakan : Pertama, Agustus 2015

Tebal : viii + 132 hlm

ISBN : 978-979-1260-47-3

Luka dan Ikhtiar Memperbaiki Nasib

Luka dan Ikhtiar Memperbaiki Nasib

(Resensi atas novel "Tanjung Luka" karya Benny Arnas)

Novel terbaru Benny Arnas bertajuk Tanjung Luka ini sejatinya merupakan cerita bersambung yang pernah dimuat di harian Sumatra Ekspres (Sumeks) dalam kurun tahun 2014 –sebagaimana pengakuan Benny dalam catatan akhir buku tersebut. Novel ini (masih) menyuguhkan latar lokalitas di mana pengarangnya berasal beserta beragam tokoh dan kecamuk konflik yang berkelindan di dalamnya. Dan memang, sesungguhnya suatu karya yang ditulis, apapun itu, tentunya harus merupakan sesuatu yang kita kenali dan kuasai bahkan dekat dengan kita, supaya dapat mengena di hati pembaca.
Novel Tanjung Luka bercerita tentang keluarga yang terdiri dari Barkumkum, Markonet, dan Tanjungluka. Sebuah keluarga kecil yang dianggap sebagai “kutukan” bagi warga kampung Ulakkungkung. Mereka menyebutnya begitu sebab sejak-mula Barkumkum dan Markonet sudah membawa kutukan sedari-belum menikah. Barkumkum adalah anak-tunggal yang sebatang-kara, yatim-piatu, dan hanya seorang garin masjid dengan upah tak-menentu, meski sebenarnya ia memiliki warisan berupa kebun peninggalan orangtuanya. Setali-tiga-uang dengan Barkumkum, Markonet pun juga merupakan anak-tunggal-kolokan yang sejak belia gemar mengendarai sepeda unta (sepeda yang mempunyai palang sejajar di antara roda depan dan roda belakang) hingga sebuah kecelakaan terjadi dan membuat darah-perawannya pecah.
Tanjungluka yang merupakan anak pasangan “ganjil” itu pun tak-luput dari “kutukan” yang dibenamkan oleh warga kampung. Kelahirannya ditandai dengan hujan lebat tak kepalang, petir menyambar-nyambar, angin mengumpar-ngumpar. Suara deru kabel listrik yang bertabrakan dan riap kanopi pohon, meredam suara erangan Markonet yang terus mengelus-elus perutnya yang hendak mengeluarkan isinya (hal. 30).
Ibunya, Markonet, melahirkannya di hutan sebelum sempat sampai di rumah dukun beranak bernama Mak Jakun (sebab sebelumnya tiada satu bidan pun di kampungnya yang mau menerima Markonet; selain karena ayahnya, Barkumkum, tidak punya uang); bersisihan dengan babi-babi betina yang juga melahirkan bayi-bayi babi (hal. 31-32).
Meski begitu, Barkumkum tidak mau menyebut semua hal itu sebagai “kutukan”. Ada sikap optimisme bernama iman yang menjadi kekuatan Barkumkum menjalani kehidupan sehari-hari: sebagai suami Markonet, sebagai ayah Tanjungluka, dan sebagai garin masjid untuk menghapus “kutukan” itu. “Bila kutukan memang ada, biar Tuhan yang menyelesaikannya. Aku takkan berhenti beribadah dan berdoa untuk mengharapkan keajaiban. Kau tahu, tidak ada yang tidak mungkin bagi Tuhan.” (hal. 30).
Sikap tersebut juga tercermin dalam dialog-dialog Barkumkum dengan Tanjungluka berikut: “Siang-malam aku beribadah di masjid. Apakah kau tak menganggapnya sebagai langkah paling baik untuk kemaslahatan keluarga kita?” (hal. 222).
“Tak harus kau hirau kata-kata orang. Di mana- mana, orang beribadah ingin masuk surga. Tapi apa salah kalau aku menggandengnya dengan tujuan lain –untuk menghapus kutukan, misalnya?” (hal. 222).
“Tak ada urusan dengan Tuhan. Kalau menyalahkan Tuhan, aku takkan beribadah untuk meminta-Nya menghapus kutukan itu!” (hal. 223).
Bukankah selayaknya seperti itu sikap seorang yang beriman meski di dalam hatinya iman itu hanya sebesar zarrah dan ada luka yang menganga bercampur nanah dan darah?

Konflik
Konflik itu muncul ketika Mami Berong terbunuh. Cerita tentang Markonet yang mencuri uang satu peti milik mucikari itu dan alibi ibunya itu yang mengatakan bahwa ia bukan pembunuh si rentenir semakin membuat Tanjungluka bingung, siapakah pelaku sebenarnya, sehingga Barkumkum ditetapkan sebagai tersangka.
Kejadian itu adalah mula bagaimana seluruh nyali Tanjungluka terkumpul. Ada dorongan yang kuat yang tiba-tiba merasuki Tanjungluka untuk membebaskan Barkumkum dari jerat hukuman atas pembunuhan itu –selain juga menyembuhkan sakit fisik dan mental ayahnya itu, sembari menunggu kebenaran itu terungkap melalui jasa pengacara Andrea Lee yang ia sewa. Ia yakin bahwa semua yang ia lakukan itu akan berwujud dan menghapus “kutukan” yang mendera keluarganya selama ini. Itulah janji yang diucapkannya.
Dalam novel ini, Benny menyuguhkan permainan intrik yang tampaknya terpengaruh dengan konsep film-film Hollywood; yang menyuguhkan misteri di pembuka cerita, dengan konflik yang berkecamuk di tengah cerita, dan ending cerita yang mengejutkan dan tidak mudah ditebak. “Permainan” cerita semacam ini tentu menyiratkan seolah-olah pembaca sedang menonton sebuah film yang apik. Hal tersebut dapat disimak melalui bagaimana novel ini dibagi menjadi 6 bab, yang seolah-olah tiap babnya membentuk plot tersendiri namun saling berangkai dengan bab yang lain. Tiap bab seperti sebuah babak atau episode dalam sebuah film. Bab 1: Kutukan, merupakan pembuka cerita. Bab 2: Pembunuhan, merupakan konflik cerita bermula. Bab 3: Penjara, adalah masa permenungan tokoh utama. Bab 4: Pengacara, merupakan usaha tokoh utama meredam konflik. Bab 5: Pelarian, merupakan upaya penemuan jawaban atas konflik tokoh utama. Dan bab 6: Permulaan, adalah jawaban atas semua yang dialami tokoh utama.

Pesan
Dalam banyak situasi, tentu terdapat palajaran berharga yang bisa dipetik. Tak terkecuali cerita tentang Tanjungluka dan keluarganya ini. Dalam kehidupan, ikhtiar yang kita lakukan adakalanya berhasil dan tidak sedikit yang gagal. Ada yang terwujud ada yang sia-sia. Barangkali pun dengan usaha Tanjungluka, barangkali tergambar seperti itu. Ya, ia berhasil menemukan Markonet, ibunya, yang ia anggap sebagai saksi kunci pumbunuhan Mami Berong, juga nenek Karimah –walau selanjutnya ia bunuh. Namun di sisi lain, ia gagal menghapus “kutukan” yang telah lama dilekatkan warga kampungnya, bahkan sedari orangtuanya masih muda, sebab pada akhirnya ia menjadi pembunuh orang-orang di sekitarnya, termasuk Barkumkum, ayahnya sendiri.
Tanjungluka menyadari bahwa apa-apa yang selama ini ia perjuangkan dan usahakan hanya membawa kesia-siaan belaka. Usaha menyembuhkan Barkumkum, ayahnya, bukan malah memberikan titik terang pencarian kebenaran itu malah diam-diam menipunya. Andrea Lee, pengacara yang ia sewa dengan biaya selangit pun tidak lebih dari penipu yang hanya mengeruk uang Tanjungluka atas nama profesi. Pun dengan Markonet, ibunya, malah memberinya sejuta pertanyaan lagi sebelum ia peroleh jawaban atas persoalan-persoalan terdahulu. Menurutnya, semua tiada guna: … hanya menghabiskan waktu, tenaga, pikiran serta ketenangan demi memperjuangkan sesuatu yang tidak mestinya diperjuangkan, yang tidak layak diperjuangkan. Dan ia tak lagi berani menyebutnya kutukan. Dalam hati, sekalipun (hal. 283).

Simpulan
Buku kedelapan sepanjang karier kepenulisan Benny ini menyuguhkan sesuatu yang menarik. Sebab, jika diteliti lebih lanjut, novel ini seolah-olah kelanjutan dari cerpen “Dilarang Mencintai Gadis Berkereta Unta” yang termaktub dalam buku kumcernya bertajuk Bulan Celurit Api (Koekoesan, 2010). Sebagai pembaca tentu kita bertanya-tanya, apakah tokoh Siti dalam cerpen tersebut memiliki nama panjang Siti Markonet, yang juga sama-sama merupakan gadis yang mengendarai sepeda unta? Ataukah hal ini hanya kebetulan semata? Sampai di sini pembaca dapat mereka-reka sendiri ihwal itu.
Sebagaimana karya-karya sebelumnya, Benny senantiasa bermain-main dengan bahasa, mengolahnya menjadi berirama, seraya tidak meracaukan alur cerita. Tentu sebagai orang Melayu, Benny juga pandai membuat perumpamaan dan bahasa-berirama yang berpadu dengan alur cerita, yang menahbiskan posisinya sebagai pengarang yang gemar membaur dan berada dalam pergaulan tersebut. “Hei kalian pasangan terkutuk, tinggallah di sini, hiduplah di sini, dan meregang-nyawalah di sini. Kami akan menjadi penonton paling setia!” (hal. 11)
Selain itu, bagi pembaca yang menyukai cerita yang romantis dan berbunga-bunga, bersiap-siaplah kecewa, sebab dalam novel ini hampir tidak ada scene semacam itu –kecuali kisah percintaan Tanjungluka dan Maesaroh di dapur RSJ (hal. 166-167). Barangkali hal itu bisa disebut kekurangan dalam novel ini dan seolah mengisyaratkan bahwa hal itu hanya sekadar tempelan cerita.
Namun, terlepas dari semua itu, yang tidak kalah penting adalah bagaimana Benny menunjukkan kepiawaiannya dalam mengolah cerita yang kuat, bak cerita dalam film-film Hollywood yang menunjukkan betapa kekuatan sebuah cerita juga ditentukan oleh pengaturan pola dialog antar-tokoh dan ritme konflik yang saling berkait serta akhir cerita yang mengejutkan berikut amanat yang disampaikan. (*)


Data Buku

Judul buku : Tanjung Luka

Pengarang : Benny Arnas

Cetakan : Pertama, Agustus 2015

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

ISBN : 978-602-03-1894-3