Minggu, 07 Februari 2016

Luka dan Ikhtiar Memperbaiki Nasib

Luka dan Ikhtiar Memperbaiki Nasib

(Resensi atas novel "Tanjung Luka" karya Benny Arnas)

Novel terbaru Benny Arnas bertajuk Tanjung Luka ini sejatinya merupakan cerita bersambung yang pernah dimuat di harian Sumatra Ekspres (Sumeks) dalam kurun tahun 2014 –sebagaimana pengakuan Benny dalam catatan akhir buku tersebut. Novel ini (masih) menyuguhkan latar lokalitas di mana pengarangnya berasal beserta beragam tokoh dan kecamuk konflik yang berkelindan di dalamnya. Dan memang, sesungguhnya suatu karya yang ditulis, apapun itu, tentunya harus merupakan sesuatu yang kita kenali dan kuasai bahkan dekat dengan kita, supaya dapat mengena di hati pembaca.
Novel Tanjung Luka bercerita tentang keluarga yang terdiri dari Barkumkum, Markonet, dan Tanjungluka. Sebuah keluarga kecil yang dianggap sebagai “kutukan” bagi warga kampung Ulakkungkung. Mereka menyebutnya begitu sebab sejak-mula Barkumkum dan Markonet sudah membawa kutukan sedari-belum menikah. Barkumkum adalah anak-tunggal yang sebatang-kara, yatim-piatu, dan hanya seorang garin masjid dengan upah tak-menentu, meski sebenarnya ia memiliki warisan berupa kebun peninggalan orangtuanya. Setali-tiga-uang dengan Barkumkum, Markonet pun juga merupakan anak-tunggal-kolokan yang sejak belia gemar mengendarai sepeda unta (sepeda yang mempunyai palang sejajar di antara roda depan dan roda belakang) hingga sebuah kecelakaan terjadi dan membuat darah-perawannya pecah.
Tanjungluka yang merupakan anak pasangan “ganjil” itu pun tak-luput dari “kutukan” yang dibenamkan oleh warga kampung. Kelahirannya ditandai dengan hujan lebat tak kepalang, petir menyambar-nyambar, angin mengumpar-ngumpar. Suara deru kabel listrik yang bertabrakan dan riap kanopi pohon, meredam suara erangan Markonet yang terus mengelus-elus perutnya yang hendak mengeluarkan isinya (hal. 30).
Ibunya, Markonet, melahirkannya di hutan sebelum sempat sampai di rumah dukun beranak bernama Mak Jakun (sebab sebelumnya tiada satu bidan pun di kampungnya yang mau menerima Markonet; selain karena ayahnya, Barkumkum, tidak punya uang); bersisihan dengan babi-babi betina yang juga melahirkan bayi-bayi babi (hal. 31-32).
Meski begitu, Barkumkum tidak mau menyebut semua hal itu sebagai “kutukan”. Ada sikap optimisme bernama iman yang menjadi kekuatan Barkumkum menjalani kehidupan sehari-hari: sebagai suami Markonet, sebagai ayah Tanjungluka, dan sebagai garin masjid untuk menghapus “kutukan” itu. “Bila kutukan memang ada, biar Tuhan yang menyelesaikannya. Aku takkan berhenti beribadah dan berdoa untuk mengharapkan keajaiban. Kau tahu, tidak ada yang tidak mungkin bagi Tuhan.” (hal. 30).
Sikap tersebut juga tercermin dalam dialog-dialog Barkumkum dengan Tanjungluka berikut: “Siang-malam aku beribadah di masjid. Apakah kau tak menganggapnya sebagai langkah paling baik untuk kemaslahatan keluarga kita?” (hal. 222).
“Tak harus kau hirau kata-kata orang. Di mana- mana, orang beribadah ingin masuk surga. Tapi apa salah kalau aku menggandengnya dengan tujuan lain –untuk menghapus kutukan, misalnya?” (hal. 222).
“Tak ada urusan dengan Tuhan. Kalau menyalahkan Tuhan, aku takkan beribadah untuk meminta-Nya menghapus kutukan itu!” (hal. 223).
Bukankah selayaknya seperti itu sikap seorang yang beriman meski di dalam hatinya iman itu hanya sebesar zarrah dan ada luka yang menganga bercampur nanah dan darah?

Konflik
Konflik itu muncul ketika Mami Berong terbunuh. Cerita tentang Markonet yang mencuri uang satu peti milik mucikari itu dan alibi ibunya itu yang mengatakan bahwa ia bukan pembunuh si rentenir semakin membuat Tanjungluka bingung, siapakah pelaku sebenarnya, sehingga Barkumkum ditetapkan sebagai tersangka.
Kejadian itu adalah mula bagaimana seluruh nyali Tanjungluka terkumpul. Ada dorongan yang kuat yang tiba-tiba merasuki Tanjungluka untuk membebaskan Barkumkum dari jerat hukuman atas pembunuhan itu –selain juga menyembuhkan sakit fisik dan mental ayahnya itu, sembari menunggu kebenaran itu terungkap melalui jasa pengacara Andrea Lee yang ia sewa. Ia yakin bahwa semua yang ia lakukan itu akan berwujud dan menghapus “kutukan” yang mendera keluarganya selama ini. Itulah janji yang diucapkannya.
Dalam novel ini, Benny menyuguhkan permainan intrik yang tampaknya terpengaruh dengan konsep film-film Hollywood; yang menyuguhkan misteri di pembuka cerita, dengan konflik yang berkecamuk di tengah cerita, dan ending cerita yang mengejutkan dan tidak mudah ditebak. “Permainan” cerita semacam ini tentu menyiratkan seolah-olah pembaca sedang menonton sebuah film yang apik. Hal tersebut dapat disimak melalui bagaimana novel ini dibagi menjadi 6 bab, yang seolah-olah tiap babnya membentuk plot tersendiri namun saling berangkai dengan bab yang lain. Tiap bab seperti sebuah babak atau episode dalam sebuah film. Bab 1: Kutukan, merupakan pembuka cerita. Bab 2: Pembunuhan, merupakan konflik cerita bermula. Bab 3: Penjara, adalah masa permenungan tokoh utama. Bab 4: Pengacara, merupakan usaha tokoh utama meredam konflik. Bab 5: Pelarian, merupakan upaya penemuan jawaban atas konflik tokoh utama. Dan bab 6: Permulaan, adalah jawaban atas semua yang dialami tokoh utama.

Pesan
Dalam banyak situasi, tentu terdapat palajaran berharga yang bisa dipetik. Tak terkecuali cerita tentang Tanjungluka dan keluarganya ini. Dalam kehidupan, ikhtiar yang kita lakukan adakalanya berhasil dan tidak sedikit yang gagal. Ada yang terwujud ada yang sia-sia. Barangkali pun dengan usaha Tanjungluka, barangkali tergambar seperti itu. Ya, ia berhasil menemukan Markonet, ibunya, yang ia anggap sebagai saksi kunci pumbunuhan Mami Berong, juga nenek Karimah –walau selanjutnya ia bunuh. Namun di sisi lain, ia gagal menghapus “kutukan” yang telah lama dilekatkan warga kampungnya, bahkan sedari orangtuanya masih muda, sebab pada akhirnya ia menjadi pembunuh orang-orang di sekitarnya, termasuk Barkumkum, ayahnya sendiri.
Tanjungluka menyadari bahwa apa-apa yang selama ini ia perjuangkan dan usahakan hanya membawa kesia-siaan belaka. Usaha menyembuhkan Barkumkum, ayahnya, bukan malah memberikan titik terang pencarian kebenaran itu malah diam-diam menipunya. Andrea Lee, pengacara yang ia sewa dengan biaya selangit pun tidak lebih dari penipu yang hanya mengeruk uang Tanjungluka atas nama profesi. Pun dengan Markonet, ibunya, malah memberinya sejuta pertanyaan lagi sebelum ia peroleh jawaban atas persoalan-persoalan terdahulu. Menurutnya, semua tiada guna: … hanya menghabiskan waktu, tenaga, pikiran serta ketenangan demi memperjuangkan sesuatu yang tidak mestinya diperjuangkan, yang tidak layak diperjuangkan. Dan ia tak lagi berani menyebutnya kutukan. Dalam hati, sekalipun (hal. 283).

Simpulan
Buku kedelapan sepanjang karier kepenulisan Benny ini menyuguhkan sesuatu yang menarik. Sebab, jika diteliti lebih lanjut, novel ini seolah-olah kelanjutan dari cerpen “Dilarang Mencintai Gadis Berkereta Unta” yang termaktub dalam buku kumcernya bertajuk Bulan Celurit Api (Koekoesan, 2010). Sebagai pembaca tentu kita bertanya-tanya, apakah tokoh Siti dalam cerpen tersebut memiliki nama panjang Siti Markonet, yang juga sama-sama merupakan gadis yang mengendarai sepeda unta? Ataukah hal ini hanya kebetulan semata? Sampai di sini pembaca dapat mereka-reka sendiri ihwal itu.
Sebagaimana karya-karya sebelumnya, Benny senantiasa bermain-main dengan bahasa, mengolahnya menjadi berirama, seraya tidak meracaukan alur cerita. Tentu sebagai orang Melayu, Benny juga pandai membuat perumpamaan dan bahasa-berirama yang berpadu dengan alur cerita, yang menahbiskan posisinya sebagai pengarang yang gemar membaur dan berada dalam pergaulan tersebut. “Hei kalian pasangan terkutuk, tinggallah di sini, hiduplah di sini, dan meregang-nyawalah di sini. Kami akan menjadi penonton paling setia!” (hal. 11)
Selain itu, bagi pembaca yang menyukai cerita yang romantis dan berbunga-bunga, bersiap-siaplah kecewa, sebab dalam novel ini hampir tidak ada scene semacam itu –kecuali kisah percintaan Tanjungluka dan Maesaroh di dapur RSJ (hal. 166-167). Barangkali hal itu bisa disebut kekurangan dalam novel ini dan seolah mengisyaratkan bahwa hal itu hanya sekadar tempelan cerita.
Namun, terlepas dari semua itu, yang tidak kalah penting adalah bagaimana Benny menunjukkan kepiawaiannya dalam mengolah cerita yang kuat, bak cerita dalam film-film Hollywood yang menunjukkan betapa kekuatan sebuah cerita juga ditentukan oleh pengaturan pola dialog antar-tokoh dan ritme konflik yang saling berkait serta akhir cerita yang mengejutkan berikut amanat yang disampaikan. (*)


Data Buku

Judul buku : Tanjung Luka

Pengarang : Benny Arnas

Cetakan : Pertama, Agustus 2015

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

ISBN : 978-602-03-1894-3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar