Senin, 30 Mei 2016

Ruang Penyangkalan Boenga Ketjil

Ruang Penyangkalan Boenga Ketjil

Beberapa cangkir kopi terhampar di beberapa meja yang tersusun sedemikian rupa dan ada yang diletakkan di semacam dipan seukuran 2x1 meter. Beberapa penganan rebus yang hangat pun terhidang lalu lamat-lamat dingin oleh udara malam di tengah musim kemarau yang tak menentu kemaraunya. Selain itu, beraneka merek rokok mendesak di antara para undangan yang hadir, baik via medium konvensional maupun daring--meski ada satu dua yang tidak merokok. Semua bersepakat bahwa malam itu merupakan malam perjamuan, yang barangkali, agung.
Ada rangkaian cerita dibaca dalam remang lampu halaman. Keheningan berangsur-angsur menyusup dalam pikiran masing-masing dan, tentu saja, malam cerah yang sedikit berbintang. Kekhusukan--jika dapat dikatakan demikian--pun mampu hadir di ruang yang juga merupakan warung kopi itu. Seperti namanya, Boenga Ketjil, ia laksana kembang yang menguarkan aroma sedap-malam kendati tempat itu alit--meski sepenuhnya tidak dapat dikatakan demikian.
Sudah beberapa kali sang pemilik, Andhi Setyo Wibowo alias Cak Kepek, melakukan hajatan serupa, dan tetamu yang hadir pun berganti-ganti, termasuk si "bintang-tamu". Sebagaimana sebuah pertemuan, ia merupakan ajang silaturahmi, saling mengakrabkan diri, bersapa-tegur, berbincang perihal berbagai persoalan, dan tak ayal berdiskusi dan bertukar-tangkap gagasan meski tidak sedikit tidak menghasilkan solusi konkret, terutama soal sastra dan seni.
Kendati demikian, ruang-ruang perjumpaan semacam itu diperlukan untuk menampung-ruapkan persoalan yang bergelayut dalam pikiran dan batin masing-masing. Ia merupakan petak yang tidak terpisahkan dari penyaluran idea dan unek-unek individu ketika berhadapan dengan realitas yang tidak memungkinkan adanya perubahan pola-pikir dan pola-suasana di tempat serupa dan di sudut mana pun, sebab barangkali tengah terlelap dalam onani-gagasan dan onani-suasananya sendiri.
Gagasan-gagasan yang bertebaran itu membutuhkan wadah berbagi dan menumpahkan (kecuali jika memang sengaja dimasturbasikan). Sebagaimana air yang memerlukan penadah agar tak meluber, gagasan-gagasan pun demikian. Bahkan lebih mengalir daripada air.
Dan, konon, kehadiran R Giryadi malam itu seolah menghangatkan malam. Cerpen-cerpen yang dibacakannya dari buku terbarunya, Mengenang Kota Hilang, seperti mengingatkan diri bahwa perjumpaan memang tak mengenal jarak dan waktu. Kendati ada yang hilang dan ada yang tinggal. Perjumpaan, sejatinya, adalah melepas kerinduan akan perjumpaan itu sendiri. Menginsafi diri sebagai makhluk sosial yang kodrati melalui tatap-muka, tatap-rupa, tatap-suara, tatap-aroma; bukan sekadar bersua lewat media-sosial-online yang kini makin sulit menghadirkan diri untuk berhadap-hadapan sehingga mengaburkan jarak dan ruang pribadi.
Untuk itulah, jika tidak ada ruang-ruang bersastra dan berkesenian, gagasan-gagasan berpikir dan aksi-aksi panggung di ruang-sewa-serbaguna (sebagaimana pergelaran teater beberapa hari lalu) akan menjadi hambar bilamana pemerintah daerah dan dewan sastra atau kesenian--bila memang ada--menggagas ruang semacam gedung kesenian atau ruang dialog mewadahi kreatifitas-kreatifitas tersebut. Kantong-kantong kreatifitas, berkesenian maupun berkebudayaan, menjadi (salah satu) yang terpenting selain gerilya dari warung kopi ke warung lain.
Jika demikian, budaya bertatap-muka dan berdialog secara langsung tanpa tedeng aling-aling kian tergerus oleh dialog virtual ala Facebook, Twitter, Instagram, dan semacam itu, dan interaksi pun sedikit demi sedikit memudar bagai pakaian yang luntur warnanya--meski ruang sosial itu tergantikan dari nyata ke maya. Bukankah erosi kebudayaan juga demikian?
Gejala tersebut barangkali nampak tatkala di tahun 2010-2012 bermunculan kantong-kantong sastra (Jombang) yang tumbuh bagai jamur di musim penghujan. Mayoritas digagas oleh mahasiswa dan atau alumni perguruan tinggi yang, entah apa maksudnya, berbondong-bondong menunjukkan eksistensi dan keberadaannya. Tentu itu baik. Geliat berkreatifitas (dalam hal ini sastra, jika boleh dikatakan demikian) di Kota Santri menunjukkan bahwa kota ini mempunyai wadah semacam itu (kebetulan dewan kesenian juga terbentuk dan bekerja) dengan pertemuan-pertemuan rutinnya. Bahkan mereka sempat didokumentasikan dalam sebuah buku yang konon lengkap (sebut saja GubugLiat, Lembah Endhut Ireng, dsb., meski jauh sebelum itu telah lahir Lembah Pring).
Namun, ya namun, jamur-jamur yang tumbuh hanya mengenal musim, tidak mengenal bahwa medan dan jalan yang mesti dilalui begitu panjang-berliku-terjal. Sampai di situ, hingga beberapa tahun, tiada geliat komunitas-komunitas itu (kecuali di tahun 2013/2014?) sempat muncul Forum Sastra Jombang. Lantas entah kemana. Seakan kerja kreatif hanya bergantung suasana hati (mood) atau kelengangan waktu penggeraknya. Entahlah.
Kini, di tahun 2016, muncul Boenga Ketjil. Ruang dan wadah baru berkonsep warung kopi. Tentu dengan motif dan modus baru. Meski demikian, ada napas segar di tengah kegersangan berdialektika dan bertukar-tangkap gagasan di tengah kemarau kreatifitas. Nama selaSastra bak oksigen yang turut memberi kesegaran dalam keriuhan "Kuning-Kuning" yanga dijejalkan di hampir seluruh kota. Adakah yang mampu memberi warna lain? (Kita tunggu saja).
Oh. Barangkali saya nglindur. Dan memang. Niat menghadiri perjamuan itu hanya mimpi. Tetiba istri saya menyangkal krentek agung itu dan mengajak sambang ke karib yang tertimpa musibah di rumah sakit daerah. Bukankah menjenguk orang sakit merupakan salah satu kewajiban? Dan saya mesti melungsurkan keinginan itu meski saya tahu ruang silaturahmi tak cukup di situ. []

Kamis, 19 Mei 2016

Di Atas (Pe)Tipu(an) Masih Ada (Pe)Tipu(an): Repertoar "Para Penjudi"

Di Atas (Pe)Tipu(an) Masih Ada (Pe)Tipu(an): Repertoar "Para Penjudi"

Nikolai Vasilevich Gogol merupakan sastrawan Rusia berkebangsaan Ukraina. Beberapa karya dramanya yang terkenal--dan sering dipentaskan--adalah Revizor, yang lazim diterjemahkan Inspektur Jenderal. Inspektur Jenderal adalah karya fenomenal. Bahkan sejak kali pertama diadaptasi Usmar Ismail dalam film Tamu Agung (1955), lakon itu telah dimainkan oleh banyak kelompok teater di Indonesia.
Seperti halnya Inspektur Jenderal, Para Penjudi merupakan salah satu lakon satir namun memiliki unsur komedi. Komedi yang dimaksud tentu bukan komedi biasa tapi komedi yang mengandung ironi bahkan mencela diri sendiri. Naskah yang diterjemahkan oleh J Sunarya dan diadaptasi oleh Rachman Sabur dari judul The Gamblers inilah yang diangkat dan dipentaskan Komunitas Tombo Ati (KTA), Sabtu-Minggu, 7-8 Mei 2016, di Aula SMKN 1 Jombang lalu.

Alur cerita
Juan Pedro, penjudi ulung dari luar negeri, datang di Bali ingin merasakan atmosfir perjudian di Pulau Dewata. Kebetulan, ia bertemu dengan beberapa penjudi dari berbagai bangsa. Tobing, Nonya Meymey dari China, dan Raam Hotahot dari India. Ditemani Juki, sopir sekaligus asisten, Juan Pedro mengundang para penjudi itu sekaligus mengembangkan kemampuan dan memperkenalkan trik-trik barunya. Di sebuah bar hotel milik Madame Jolly, keempatnya berjudi dan sambil jalan melakukan konspirasi untuk mengeruk uang pengusaha asal Arab yang sedang berinvestasi di Bali, Wan Abab, dan anaknya, Wan Antum. Konon, mereka ingin menipu habis-habisan investor itu melalui permainan yang sudah mereka susun sedemikian rupa.
"Inilah fenomena mobilisasi perang. Senjata di tangan, dan moral kita yang punya perspektif!" Ujar Nona Meymey.
Singkat cerita, dipertemukanlah mereka dengan penghubung bisnis bernama Paimin guna melancarkan urusan investasi yang dimaksud. Katanya, "Beginilah Indonesia, Tuan. Untuk hal begini, dua minggu adalah bahasa Indonesia yang berarti dua bulan. Dan kalau dua bulan itu artinya sama dengan dua tahun." Pada akhirnya, Juan Pedro berakhir tidak seperti penipu, tetapi tertipu. Tertipu dengan ikut memainkan lelucon konyol yang tajam dan rumit pada dirinya sendiri.
"Gila! Ini hari yang gila dan luar biasa! Aku mengumpankan 1 miliar dan yang terpancing 2 miliar. Ini benar-benar gila! Inilah puncak prestasiku dalam berjudi dan menipu! Ya, gerak tipu niaga! Kalau aku belum tahu cara menipu, mereka tentu sudah menipuku lebih dulu," sesalnya mengakhiri.

Ludes
Direktur KTA, Imam Ghozali mengatakan, bahwa ini merupakan produksi yang ke-43. Hampir setiap tahun komunitas ini mementaskan repertoar dengan lakon dan gaya berbeda.
"Kami tidak menyangka, tiket seharga Rp15.000 untuk umum dan Rp12.000 untuk pelajar ludes menjelang H-7. Untuk itu, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya bagi para calon penonton yang tidak kebagian tiket atau bermaksud hendak memesan/membeli tiket pertunjukan kami. Dengan selesainya pertunjukan ini, kami keluarga kecil KTA mengucapkan banyak terima kasih kepada para penonton dan mengapresiasi pertunjukan kami. Mohon maaf atas segala kekurangan." Pungkasnya, sebagaimana yang di-publish di akun Facebook pribadinya.
Perlu diketahui, Komunitas Tombo Ati (KTA) lahir di Jombang tanggal 3 Agustus 1996. Didirikan oleh beberapa penggagas seni yang sebelumnya sudah malang melintang di dunia seni pertunjukan. KTA bersanggar di Jalan Dr. Wahiddin Sudirohusodo Gang IV RT. 25 RW. 04 Jombang. Kelompok ini senantiasa membuka tangan bagi siapa saja yang ingin bertukar-tangkap gagasan, guna mencari jalan keluar atas problema anak muda yang gelisah. Pada Oktober 1996, KTA mendapat kepercayaan mewakili Jawa Timur dalam Event Festival Teater Tingkat Nasional di Bandung dan mendapatkan penghargaan dari Pemerintah RI sebagai penyaji terbaik lakon Makam Bisu (sutradara Imam Ghozali AR). Beberapa repertoar juga pernah dipentaskan di dalam maupun luar kota, baik naskah-naskah dramawan dalam maupun luar negeri. Juga sempat mementaskan naskah anggota KTA sendiri.
Memang, persoalan tipu-menipu sudah menjadi tabiat bangsa. Seorang wakil rakyat menipu rakyat yang telah memilihnya, dengan cara korupsi. Seorang pegawai negeri menipu keluarganya dan mempunyai pasangan lain di luar sana. Dan banyak tipu-menipu lain. Kritik sosial menjadi titik pusat naskah karya Nikolai Gogol ini dengan cara diaktualisasikan melalui media perjudian. Perspektif yang dibangun pun tidak melulu serius, ada beberapa scene yang menghadirkan komedi (parodi?) yang menghibur penonton. Di bawah arahan sutradara Fandi Ahmad, lakon Para Penjudi diolah sedemikian rupa dengan harapan penonton tidak bosan dan memperoleh nilai-nilai kontemplatif dalam pertunjukan ini.
Hampir di setiap sudut tata panggung penonton disuguhi latar Bali yang kental. Dekorasi dan propertinya pun digarap sedetil mungkin demi memperoleh intensifitas suasana dan memperkuat karakter peran. Barangkali inilah yang menjadi kekuatan dalam setiap pertunjukan KTA yang membuat masyarakat dan penonton setianya senantiasa menantikan pementasan-pementasan selanjutnya.
Atau, barangkali, penonton kini lebih menikmati tontonan (rakyat) alternatif tinimbang televisi atau YouTube atau sejenisnya. Bisa jadi pula--teater atau seni pertunjukan serupa--merupakan medium penyangkalan atas kehadiran medium-medium instan yang hadir belakangan. Bahwa kejenuhan manusia sebagai penonton juga merupakan imbas dari digitalisasi produk-produk yang mereka ciptakan sendiri sehingga abai ada yang lebih manusiawi dan tentu saja menghibur diri; dari hal-hal fasik.
Di atas langit masih ada langit. Di atas penipu, penipuan, dan tipuan masih ada yang lebih. Sehebat apapun seseorang dan model-trik yant dipergunakan, tentu ada saja yang bisa mengalahkan. Mungkin demikian salah satu pesan dalam lakon ini. Selain itu, dalam repertoar ini pun menyiratkan bahwa perjudian memberikan dampak pemiskinan pada masyarakat, dan pemiskinan itu bukan sekadar materi melainkan moral (mental) bagi pelakunya sendiri. Ia bisa menghalalkan segala cara dan melupakan segala daya, meski harus menipu lawan, menipu kawan: menipu diri sendiri.
Bukankah dalam agama tegas melarang perbuatan itu? [*]