Selasa, 12 Juli 2016

Ramadan dan Festival Makan dan Minum

Ramadan dan Festival Makan dan Minum

Jika Anda berkunjung ke kota Jombang kala sore di bulan Ramadan, sempatkanlah melewati Jalan Presiden KH Abdurrahman Wahid, tepatnya di selatan stadion. Di situ Anda temui beraneka pedagang takjil (yang berat maupun ringan) dan kemacetan yang barangkali dianggap wajar. Konon, itulah yang disebut Pasar Ramadan. Semacam wisata kuliner (menurut istilah kekinian) yang telah dilegalkan dan menjadi ikon tahunan sedari beberapa tahun silam.
Barangkali tidak hanya di situ. Di beberapa tempat (masih di wilayah Jombang) juga terdapat "pasar" serupa yang tentu saja menjual takjil serupa. Pun di luar sana, di kota-kota lain. Geliat ekonomi di Bulan Suci begitu hidup seolah inilah yang disebut bulan penuh berkah.
Kita patut bersyukur bahwa Tuhan Seru Sekalian Alam menganugerahi Ramadan kepada hamba-Nya. Ialah bulan di mana segala kebajikan dilipatgandakan dan semua keburukan dihapus dengan mudah. Ia merupakan festival ibadah yang menakjubkan, yang tak pernah Allah berikan kepada umat sebelum kita.
Lantas, sampai di situkah?
Tidak. Lebih dari itu. Kenyataannya, kita disuguhi berupa-neka hidangan mata melalui televisi. Program acara kuliner tak luput dari pandangan, seolah mereka menegaskan bahwa, "kami tidak berpuasa"; atau "sila berbuka dengan kami magrib nanti"; atau, paling tidak, "puasa memang menahan nafsu makan dan minum tapi tidak mengapa melihat kami makan". Demikian kira-kira definisi acara tersebut.
Setali tiga uang, semarak iklan mengusung produk makanan, minuman, tempat makan dan minum, atau semacam itu kian tak terbantahkan. Puasa, seolah-olah, hanya milik kita sebagai penonton, sedangkan mereka gencar mengiming-imingi produk makanan dan minuman (dengan dalih) untuk berbuka. Banyaknya slot iklan demikian sungguh membikir gusar (sebagian) penonton yang menginginkan hidangan rohani seperti tausiah atau ceramah agama. Keinginan memperoleh kebajikan melalui tayangan yang bermutu teralihkan oleh gencarnya iklan yang justru mengundang nafsu makan dan minum. Bahkan, terang-terangan di siang-bolong mempertunjukkan makan dan minum (dengan beragam model dan aksi menggiurkan). Seolah, mereka sedang menghadapi penonton yang sedang kelaparan, berpuasa secara lahiriah. Sungguh.
Memang, hal demikian tidaklah perlu kita perdebatkan selagi kita tidak terpengaruh tayangan dan iklan kuliner semacam itu. Namun, alangkah tidak elok bila kita berkaca pada peristiwa Bu Saeni beberapa hari lalu. Kita semua tahu bagaimana kronologinya, hingga mengundang pembelaan maupun hujatan di kalangan netizen (sampai membawa-bawa nama kemanusiaan dan HAM). Betapa ironi sekaligus menggelikan bila sebuah warteg saja diperlakukan semacam itu oleh Satpol PP, lantas bagaimana dengan iklan-iklan dan tayangan kuliner yang (hampir) setiap menit nampang di televisi? Maukah para abdi negara itu bertindak sama dengan yang dilakukan terhadap Bu Saeni, bilamana iklan dan acara tersebut mengatasnamakan kemanusiaan dan HAM (Hak Asasi Makan-Minum)? Benarkah kita telah menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan jika iklan dan acara TV itu benar-benar menghormati orang-orang yang berpuasa?
Saling menghormati adalah kunci utama rasa kemanusiaan itu. Kita tidak dapat disebut manusia seutuhnya bila tidak saling menghormati. Menghormati dan dihormati. Begitu tata aturan kehidupan yang berlaku agar tidak timbul syak wasangka sesama manusia. Tidaklah usah kita mencari penghormatan dari orang lain jika kita sendiri tidak ma(mp)u menghormati orang lain. Menghormati ibadahnya, menghormati pekerjaannya, menghormati tindak-tanduknya, menghormati pendiriannya, menghormati kepribadiannya. Sebab sejatinya, menghormati orang lain sama dengan menghormati diri kita sendiri, menjunjung kemanusiaan, merekatkan toleransi, dan meninggikan peradaban. Bukankah telah menjadi trending topic bila persoalan dan isu semacam itu begitu sensitif di tengah masyarakat kita yang kian peka dan sempit?
Berlomba-lomba dalam beribadah di bulan Ramadan sepatutnya menjadi momentum mengekang hawa dan nafsu lahir dan batin. Menjaga diri dari keinginan-keinginan berlebih. Mengontrol perilaku dari perbuatan keji dan mungkar. Melawan syahwat yang mendekatkan diri pada jalan setan. Dan, puasa adalah upaya membentengi diri sehingga seusai Ramadan kita siap dan sanggup menghadapi godaan-godaan yang jauh lebih kuat, jauh lebih hebat, jauh lebih jauh.
Ah, azan magrib masih beberapa jam lagi. Para pedagang di tepi trotoar telah menggelar beraneka macam takjil untuk berbuka. Matahari masih tinggi dan asar belum tiba. Namun para pembeli telah berduyun-duyun mengerubungi setitik kebahagiaan di antara guyuran kebahagiaan ketika berjumpa Penciptanya kelak, sebagaimana yang dirisalahkan oleh Junjungan kita. Mengutip jargon sebuah iklan, "Sambut kemenangan sebelum datangnya Hari Kemenangan". (*)

2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar